Oleh: Nadia Rahmatul
Ummah
“Taufan!”
Teriakan
seseorang mengagetkan aku yang sedang terkantuk-kantuk hampir terlelap. Di
depanku seorang wanita berpakaian rapi dan berkacamata minus telah berdiri
dengan ekspresi yang mengerikan di tangannya tergenggam penggaris kayu yang
besar.
“Berapa
jumlah takaran bahan pembuatan cake yang tadi saya sebutkan di depan?” kini
tangannya yang memegang penggaris mengarah ke meja guru.
Aku
berpikir, berapa? Aku tidak memperhatikannya sama sekali karena sibuk dengan
cerita yang ditulis, ah, andai saja aku tadi memperhatikan wanita yang sering
dipanggil Ibu Lia itu, mungkin aku bisa menjawab dan membantu Taufan.
“
250 gr telur, 250 tepung terigu, 250 gr gula pasir…” jawab Taufan dengan mimik
terpaksa, wajahnya yang terlihat mengantuk malah terlihat semakin tak karuan.
“
Salah!” wanita itu kini berkata agak
keras sambil memukulkan penggaris kayu ke atas meja, membuatku hampir terlempar
dari genggaman tangan Taufan, pemuda bertubuh kurus.
Taufan
malah nyengir, aku meringis. Kenapa aku punya teman seperti ini?, tak
memperhatikan guru, pakaian seragamnya yang kadang menyalahi aturan, hari ini
saja ia memakai seragam putih abu padahal hari ini ia harus memakai seragam cook,
seragam yang harus dipakai saat jam pelajaran produktif karena Taufan sekolah
di SMK Pariwisata dan mengambil jurusan Restorant.
“Lihat
catatan kamu!” guru pelajaran pengetahuan menu itu menarik buku di dekatku.
Sesaat kemudian matanya terbelalak.
“Ma’af,
bu, aku gak nulis resep yang tadi ibu jelaskan, karena…” Taufan terlihat takut
menghadapi guru ini.
“Taufan,
sekarang bukan jam pelajaran bahasa Indonesia, kalau mau nulis seperti ini
jangan di jam pelajaran saya!” Bu Lia menaruh buku yang dipegangnya tadi dengan
agak kasar, ia marah.
“Aww..”
rintih teman dekatku itu.
“Sabar,
ya!”
“Kenapa
aku yang jadi sasaran?”
“Sudahlah,
namanya juga manusia” hiburku.
“
Nanti kamu temui saya di kantor sepulang sekolah” Bu Lia berkata sambil berlalu
dari hadapan kami dengan wajah kesalnya.
“Baik,Bu!”
sahut Taufan yang tertunduk karena malu diperhatikan oleh teman-temannya yang
mungkin menanggapnya murid tak punya etika ketika sedang belajar.
“Kalian
jangan meniru kelakuan Taufan, itu tidak mencerminkan murid yang baik” kini Bu Lia
berpesan kepada anak-anak yang lain.
“
Huh, selalu saja begini” keluh Taufan,
ia kembali membuka buku catatannya dan meneruskan kegiatan yang sempat terhenti
karena rasa kantuk dan teguran Bu Lia.
# # #
“
Trek!” cahaya lampu yang terang
menyilaukan penglihatanku yang dari tadi dimanjakan oleh suasana gelap di luar karena malam telah
datang, terlihat keadaan kamar tidur yang berantakan, kertas-kertas kwarto yang
penuh dengan tulisan dan coretan tangan berserakan di lantai dan meja, dua
tumpuk buku begitu tenang diam diatas meja belajar, sebagian buku yang terbuka
tergeletak di atas kasur lantai.
Taufan melempar tas gendongnya ke atas kasur, ia
merebahkan dirinya dan menatap langit-langit kamar, aku ikut menatap
langit-langit kamar yang beberapa bagiannya berwarna coklat membentuk gambar
pulau-pulau kecil karena bekas air hujan yang jatuh, langit-langit kamar yang
sudah bocor.
“Apa
kau baik-baik saja, Violet?”
Ups,
aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu, aku menoleh ke sumber suara.
“Tentu
saja, aku baik-baik saja, aku hanya ingin melakukan apa yang dilakukan Taufan,
merenung sambil menatap langit-langit kamar” jawabku.
“Kasihan
teman kita ini, Violet…” ujarnya, seolah membaca pikiranku.
“Ya,
kau tahu bagaimana ekspresi Bu Lia saat mendengar alasan Taufan menulis cerita
itu?”
“Pasti
menyeramkan, dan ekspresi wajah Taufan sangat sendu, aku tahu dia menahan
tangisnya”
“Masalah
itu pasti sangat sensitif bagi Taufan”
“Andaikan
kita bisa membantu Taufan”
“Hmm…sudahlah,
Allah sudah memberi takdir seperti ini kepada kita, kebersamaan kita dengan
Taufan sudah cukup”
Taufan
bangkit untuk duduk, ia mencium bagian ketiak bajunya, ia masih memakai seragam
putih abunya, sebelumnya ia melepas seragamnya dan berganti seragam waiter restoran kecil yang tak jauh dari kosannya.
Taufan, ia kerja paruh waktu di restoran itu pulangnya selalu jam 11
malam, 6 jam kerja dengan setengah jam
isirahat, setiap hari ia melakukannya kecuali hari Sabtu yang merupakan waktu Taufan
mengerjakan hobinya.
“
Hhh…bau banget” Taufan mengernyitkan hidungnya “Duh, Violet, kamu pasti mencium
bau tak sedap ini juga, ma’af’, ya”
“Hahaha…”
Black tertawa, tas gendong milik Taufan itu tampak senang “Violet, kasihan
banget kamu”
Aku
melotot ke arahnya.
“Violet,aku
mau mandi dulu, kamu diam disini saja,ya”
Taufan
mengangkat tubuh rampingku dari saku seragam putihnya dan aku ditaruhnya di
atas meja bersama buku-buku yang menumpuk, disana ada novel Ayat-ayat Cintanya
Habiburrahman, cerita Harry Potter karya penulis tangguh JK.Rowling dan
novel-novel lainnya.
“Hai…”
Aku menyapa mereka sesaat setelah Taufan berlalu ke kamar mandi “bagaimana
kabar kalian?”
“Alhamdulillah,
baik, meskipun kami tidak disimpan di rak buku tapi Taufan memelihara kami
dengan baik, lihat saja badan kami tak ada yang lecet” ujar kamus bahasa
Inggris.
Aku
tersenyum, aku tahu Taufan adalah seorang penggila baca yang baik yang bisa
memelihara buku-bukunya, juga penulis yang baik meski ia belum pernah
menerbitkan satu buku pun, tulisannya sudah menumpuk di buku agenda buku tulis
tebal sampai kertas-kertas folio dan di buku catatan pelajarannya.
“Eh,
apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Taufan? Tampaknya ia terlihat murung”
tanya novel Ayat-ayat Cinta.
Aku
berpikir sejenak “sedikit masalah dengan guru” ujarku kemudian.
“Masalah
apa?”
“Ia
ketahuan menulis cerita saat jam pelajaran pengetahuan menu”
“Terus?”
“Ia
dikasih ultimatum oleh Bu Lia, kalau ia masih melakukan itu ia akan dilaporkan
ke kepala sekolah dan mengirimkan surat pemberitahuan ke orangtua Taufan”
“Ah,
itu tak akan mempan, bagi Taufan menulis adalah hal terpenting dalam hidupnya,
aku pernah membaca kalau menulis itu menghilangkan stres karena dengan menulis
kita bisa menumpahkan semuanya, terapi yang sangat bagus bagi orang-orang yang
sedang punya masalah” Black menanggapi.
“Ya,
dan Taufan tak akan pernah memberitahu orangtuanya jika ia mendapat hukuman
lagi, orangtuanya tak pernah peduli, kan?” aku berujar dengan agak geram.
Ya,
memang benar, orang tua Taufan tak kan pernah tahu masalah yang sedang di
hadapi Taufan, orang tuanya sedang merantau di negeri orang mencari penghasilan
dari kerja sebagai TKI.
Novel
Harry Potter mengangguk setuju, wajahnya tampak sendu. Semuanya menjadi hening
memikirkan nasib Taufan.
“Alhamdulillah, segarnya…” Taufan baru
saja keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk, rambutnya tampak
basah, ia terlihat riang seperti tak menanggung beban apa pun.
“Lihatlah,
Taufan tak pernah larut dalam kesedihannya” ujar Black yang masih tergeletak di
atas kasur.
Semua
tersenyum lega.
“
Taufan!” suara wanita yang sudah renta
menghentikan senyuman semua yang berada di kamar Taufan “kamu baru pulang?
Kenapa pulang larut malam?” rupanya nenek khawatir dengan kelakuan Taufan.
# # #
“Elaborate…”
Taufan tampak berpikir “dessert plate, soup bowl, soup spoon, dessert knife…”
Fauzan menunjuk peralatan makan di hadapannya yang berjajar di atas meja
peralatan. Hari ini kelas restoran sedang ujian table set di ruang resto
sekolah.
“Kau
memilih elaborate?” tanya Pak Heri, guru tata hidang “kau yakin?”
“Aku
yakin aku bisa, Pak!” jawab Taufan mantap. Taufan memilih elaborate, salah satu
penataan meja makan yang paling lengkap dan mewah, biasanya digunakan di
restoran-restoran masakan Eropa.
“Bukan
karangan belaka, kan? Di kelas ini kau tak bisa memanjakan dirimu dengan
menulis cerita saat sedang jam pelajaran” Pak Heri berujar lagi.
“Tentu
saja, Pak, aku tidak akan nakal di kelas ini dengan kelakuanku yang menurut
guru-guru sangat jelek”
“Baiklah,
saya percaya”
Dengan
cekatan dan hati-hati Taufan menata meja, ia tak perlu mengukur jarak ujung
piring dengan permukaaan meja, ia sudah hafal, dari cara sikap tubuh saat
menata meja sampai cara memegang peralatan saat ditaruh di atas meja.
“Bagus,
kau hanya menghabiskan beberapa menit
saja” Ujar Pak Heri senang “sempurna!”
Pak Heri terus memandang hasil kerja Taufan.
“Terima
kasih,Pak!” Taufan tersenyum ceria.
“
Calon waiter yang baik” Pak Heri menepuk pundak Taufan.
“Juga
penulis yang baik” Taufan menambahkan.
Pak
Heri mengangguk-angguk “ya,ya…”
“Nah,
Violet, kita akan menulis cerita setelah ini, ceritanya sebentar lagi akan
selesai” Taufan meraihku di saku khusus di seragam waiternya sesaat setelah
beranjak keluar dari ruang resto tempat ujian.
“Hai,
Taufan!” seorang laki-laki dengan seragam yang samadatang tergopoh-gopoh “aku
mencari kamu dari tadi, mana ceritanya?”
Taufan
nyengir “ ma’af, Zan, hari ini aku akan selesaikan ceritanya, nanti malam aku
kasih ke kamu ,oke?”
Fauzan
tersenyum, “wah, jadi ceritanya sudah mau selesai, nich?”
“Ya,
dan tugas kamu mengetiknya sebentar lagi selesai, sekertarisku” Taufan tertawa.
“Gimana
endingnya?”
“Wah,
kalau dikasih tau duluan gak bakal seru, donk”
Fauzan
sedikit merengut “ ya, sudahlah,aku tunggu”
# # #
“Selesai!”
seru Taufan mengagetkan aku juga Black,
sekaligus mengundang tatapan tajam Pak Rino, guru matematika di kelas restoran.
“Taufan!”
tegur Pak Rino “Berapa kali kamu melanggar ?”
Pak Rino menatap tajam.
Taufan
tersentak kaget, matanya memandang sekeliling, tampak semua temannya menatapnya
heran.
“
Apa yang sedang kamu kerjakan?”
“Eng…matematika,
Pak!” jawab Taufan tersenyum. Tampak Fauzan menepuk jidatnya, aku ikut cemas
karenanya.
“Saya
tidak menyuruh mengerjakan sesuatu, kamu tidak mendengarkan saya?”
“Eng…ma’af,
Pak!”
Suasana
menjadi tegang.
“Bawa
ke sini bukunya!”
“Duh,
gawat!” Taufan bergumam.
“Black,
gimana?” aku bertanya pada Black yang bersandar di kursi Taufan.
“I
don’t know and Idon’t like this situation” Black meringis.
Aku
melihat Taufan berjalan pelan-pelan sambil menunduk, di tangannya ada buku
tulis yang penuh dengan cerita karyanya yang baru rampung. Pak Rino hanya
geleng-geleng kepala, mungkin sudah bosan dengan tingkah aneh muridnya. Aku
memejamkan mata, tak kuasa melihat apa yang akan terjadi.
“Ini
bukan waktunya pelajaran mengarang, Taufan!” suara Pak Rino kembali terdengar,
pasti ia membaca catatan Taufan.
“Setelah
jam pelajaran ini selesai kamu ikut saya ke ruang BP!”
“Pak!”
suara seseorang “Ini salah saya juga, Pak, saya yang menyuruh Taufan
menyelesaikan ceritanya” Fauzan angkat bicara.
Semua
mata tertuju pada Fauzan yang tiba-tiba membela Taufan.
“Hmm…ya,
kalian berdua menghadap ke BP nanti!”
# # #
Sepekan
setelah peristiwa pemanggilan Taufan dan Fauzan ke ruang BP, aku merasakan
resah yang tak terbendung, semakin khawatir melihat keadaaan Taufan yang sangat
berbeda dari biasanya, hari ini juga ia tak kerja di restoran. Sejak pulang
dari sekolah Taufan hanya termenung di depan meja belajarnya, aku pun tak
disentuhnya, tak ada tulisan-tulisan Taufan yang membuatku menikmati gerakan
tangannya.
Duh...apa
yang sebenarnya terjadi dengan Taufan? Hukuman apa yang diberikan guru BP pada
Taufan?.
“Black?
Ada apa sebenarnya dengan teman kita?” tanyaku pada Black yang tergeletak di
dekatku, masih di atas meja bersama buku-buku lain yang berserakan.
“Hhh...aku
juga tak tahu, Violet!” sahut Black “waktu mereka masuk ke ruang BP kita kan
tidak ikut”
“Kita
perlu menanyakannya, Black. Tapi, bertanya pada siapa?”
“Ah,
sudahlah! Kita ditakdirkan Allah sebagai benda mati, saksi bisu segala perilaku
manusia” Black menimpali “Kita tidak bisa berbicara denagn manusia”
“Berdo'a
saja, kawan-kawan!” novel Ayat-ayat Cinta angkat bicara “mudah-mudahan tak
terjadi apa-apa”
“Ya,
Allah tak akan membiarkan hamba-Nya menderita karena resah seperti ini” buku
yang lain menanggapi.
Aku
masih menatap Taufan yang semakin tengelam dalam lamunannya. Ya, Allah, apa
sich yang ada dalam pikirannya saat ini?
“Tok...tok...tok!”
Suara
ketukan di pintu membuat kami tersentak.
“Asssalamu'alakum”
Kini
diiringi ucapan salam. Aih...sepertinya aku kenal pemilik suara ini.
“Ah,
itu Fauzan!” Black berseru.
“Sebentar
lagi kita akan tahu permasalahan yang dihadapi Taufan” sahutku girang, aku
mulai lega karena kedatangan Taufan.
“Mudah-mudahan!”
sahut yang lain.
“Wa'alaikumsalam!”
Taufan bangkit dari duduknya, ia berjalan menghampiri pintu.
Alhamdulillah,
kamu patut bersyukur, Violet! Kalau tak ada yang datang mengusik lamunan Taufan
mungkin Taufan akan terus melamun, kalau kesambet jin, gimana?.
“Kusut
amat mukamu itu, Fan!' ujar Fauzan setelah dipersilahkan masuk oleh Taufan
“Senyum, dong!”
“Aku
masih kaget, Zan!” ujar Taufan.
Hah?
Kaget? Ada apa ini? Kenapa dia tidak bercerita padaku? Biasanya saat ada masalah
apa pun Taufan suka bercerita padaku bersama catatan hariannya.
“Ah,
Taufan. Hal seperti itu sudah biasa” Fauzan mulai menasehati Taufan yang
mukanya tampak semakin muram.
“Tapi,
itu bikin aku tidak PD lagi untuk nulis, Zan!”
“Ditolak
itu resiko” Fauzan menanggapi “Karya kamu baru sekali diolak. Coba, kau
ingat-ingat lagi, penulis-penulis besar yang sudah terkenal awalnya karya
mereka ditolak beberapa kali, bahkan puluhan kali, tapi mereka tak pernah
menyerah, Fan!”
Oh,
jadi itu permasalahannya. Karya tulis yang berbentuk novel yang ditulis oleh
Taufan ternyata ditolak oleh penerbit, perjuangannya selama enam bulan tak
membuahkan hasil yang menyenangkan baginya.
“Kamu
harus bersyukur karena pihak sekolah tak mengeluarkanmu. Perilakumu di kelas
ketika jam pelajaran ternyata masih dimaklumi oleh kepala sekolah. Asal kamu
tidak melakukannya lagi!” Fauzan terus berkomentar,
“Thanks,
kawan!” Taufan sedikit tersenyum, mendung di wajanya perlaan memudar.
“Bangkitlah,
kawan!” Fauzan bersemangat “jangan pernah menyeah! Kau pasti menjadi seorang
penulis yang hebat!”
“Kamu
benar” Taufan bangkit “aku tak akan menyerah!”
“Aku
akan tetap menjadi sekertarimu, kamu kan belum punya komputer” Fauzan
merangkul bahu Taufan, tersenyum.
Hore!
Eh, Alhamdulillah! Aku dan teman-teman bersorak gembira. Taufan telah kembali,
seorang calon penulis hebat akan beraksi kembali ditemani si pena bernama
Violet, aku!
“Aaa...!”
aku terlonjak kaget. Taufan meraih tubuh sampingku dan mengambil selembar
kertas di dekatnya.
TAK
ADA KATA MENYERAH KARENA AKU SI PENULIS HEBAT!
Tubuhku
meliuk-liuk di genggaman tangan kanan Taufan, aku kembali merasakan sensasi
menyenangkan saat menemani Taufan merangkai kata-kata, menggoreskan tintaku di
atas kertas-kertas yang telah menunggu diisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar