Sabtu, Juni 16, 2012

AKU DAN CALON PENULIS HEBAT

Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
               “Taufan!”
           Teriakan seseorang mengagetkan aku yang sedang terkantuk-kantuk hampir terlelap. Di depanku seorang wanita berpakaian rapi dan berkacamata minus telah berdiri dengan ekspresi yang mengerikan di tangannya tergenggam penggaris kayu yang besar.
           “Berapa jumlah takaran bahan pembuatan cake yang tadi saya sebutkan di depan?” kini tangannya yang memegang penggaris mengarah ke meja guru.
           Aku berpikir, berapa? Aku tidak memperhatikannya sama sekali karena sibuk dengan cerita yang ditulis, ah, andai saja aku tadi memperhatikan wanita yang sering dipanggil Ibu Lia itu, mungkin aku bisa menjawab dan membantu Taufan.
           “ 250 gr telur, 250 tepung terigu, 250 gr gula pasir…” jawab Taufan dengan mimik terpaksa, wajahnya yang terlihat mengantuk malah terlihat semakin tak karuan.
           “ Salah!”  wanita itu kini berkata agak keras sambil memukulkan penggaris kayu ke atas meja, membuatku hampir terlempar dari genggaman tangan Taufan, pemuda bertubuh kurus.
           Taufan malah nyengir, aku meringis. Kenapa aku punya teman seperti ini?, tak memperhatikan guru, pakaian seragamnya yang kadang menyalahi aturan, hari ini saja ia memakai seragam putih abu padahal hari ini ia harus memakai seragam cook, seragam yang harus dipakai saat jam pelajaran produktif karena Taufan sekolah di SMK Pariwisata dan mengambil jurusan Restorant.
           “Lihat catatan kamu!”   guru pelajaran  pengetahuan menu itu menarik buku di dekatku. Sesaat kemudian matanya terbelalak.
           “Ma’af, bu, aku gak nulis resep yang tadi ibu jelaskan, karena…” Taufan terlihat takut menghadapi guru ini.
           “Taufan, sekarang bukan jam pelajaran bahasa Indonesia, kalau mau nulis seperti ini jangan di jam pelajaran saya!” Bu Lia menaruh buku yang dipegangnya tadi dengan agak kasar, ia marah.
           “Aww..” rintih teman dekatku itu.
           “Sabar, ya!”
           “Kenapa aku yang jadi sasaran?”
           “Sudahlah, namanya juga manusia” hiburku.
           “ Nanti kamu temui saya di kantor sepulang sekolah” Bu Lia berkata sambil berlalu dari hadapan kami dengan wajah kesalnya.
           “Baik,Bu!” sahut Taufan yang tertunduk karena malu diperhatikan oleh teman-temannya yang mungkin menanggapnya murid tak punya etika ketika sedang belajar.
           “Kalian jangan meniru kelakuan Taufan, itu tidak mencerminkan murid yang baik” kini Bu Lia berpesan kepada anak-anak yang lain.
           “ Huh, selalu saja begini”  keluh Taufan, ia kembali membuka buku catatannya dan meneruskan kegiatan yang sempat terhenti karena rasa kantuk dan teguran Bu Lia.
# # #

           “ Trek!”  cahaya lampu yang terang menyilaukan penglihatanku yang dari tadi dimanjakan  oleh suasana gelap di luar karena malam telah datang, terlihat keadaan kamar tidur yang berantakan, kertas-kertas kwarto yang penuh dengan tulisan dan coretan tangan berserakan di lantai dan meja, dua tumpuk buku begitu tenang diam diatas meja belajar, sebagian buku yang terbuka tergeletak di atas kasur lantai.
           Taufan  melempar tas gendongnya ke atas kasur, ia merebahkan dirinya dan menatap langit-langit kamar, aku ikut menatap langit-langit kamar yang beberapa bagiannya berwarna coklat membentuk gambar pulau-pulau kecil karena bekas air hujan yang jatuh, langit-langit kamar yang sudah bocor.
           “Apa kau baik-baik saja, Violet?”
           Ups, aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu, aku menoleh ke sumber suara.
           “Tentu saja, aku baik-baik saja, aku hanya ingin melakukan apa yang dilakukan Taufan, merenung sambil menatap langit-langit kamar” jawabku.
           “Kasihan teman kita ini, Violet…” ujarnya, seolah membaca pikiranku.
           “Ya, kau tahu bagaimana ekspresi Bu Lia saat mendengar alasan Taufan menulis cerita itu?”
           “Pasti menyeramkan, dan ekspresi wajah Taufan sangat sendu, aku tahu dia menahan tangisnya”
           “Masalah itu pasti sangat sensitif  bagi Taufan”
           “Andaikan kita bisa membantu Taufan”
           “Hmm…sudahlah, Allah sudah memberi takdir seperti ini kepada kita, kebersamaan kita dengan Taufan sudah cukup”
           Taufan bangkit untuk duduk, ia mencium bagian ketiak bajunya, ia masih memakai seragam putih abunya, sebelumnya ia melepas seragamnya dan berganti seragam waiter  restoran kecil yang tak jauh dari kosannya. Taufan, ia kerja paruh waktu di restoran itu pulangnya selalu jam 11 malam,  6 jam kerja dengan setengah jam isirahat, setiap hari ia melakukannya kecuali hari Sabtu yang merupakan waktu Taufan mengerjakan hobinya.
           “ Hhh…bau banget” Taufan mengernyitkan hidungnya “Duh, Violet, kamu pasti mencium bau tak sedap ini juga, ma’af’,  ya”
           “Hahaha…” Black tertawa, tas gendong milik Taufan itu tampak senang “Violet, kasihan banget kamu”
           Aku melotot ke arahnya.
           “Violet,aku mau mandi dulu, kamu diam disini saja,ya”
           Taufan mengangkat tubuh rampingku dari saku seragam putihnya dan aku ditaruhnya di atas meja bersama buku-buku yang menumpuk, disana ada novel Ayat-ayat Cintanya Habiburrahman, cerita Harry Potter karya penulis tangguh JK.Rowling dan novel-novel lainnya.
           “Hai…” Aku menyapa mereka sesaat setelah Taufan berlalu ke kamar mandi “bagaimana kabar kalian?”
           “Alhamdulillah, baik, meskipun kami tidak disimpan di rak buku tapi Taufan memelihara kami dengan baik, lihat saja badan kami tak ada yang lecet” ujar kamus bahasa Inggris.
           Aku tersenyum, aku tahu Taufan adalah seorang penggila baca yang baik yang bisa memelihara buku-bukunya, juga penulis yang baik meski ia belum pernah menerbitkan satu buku pun, tulisannya sudah menumpuk di buku agenda buku tulis tebal sampai kertas-kertas folio dan di buku catatan pelajarannya.
           “Eh, apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Taufan? Tampaknya ia terlihat murung” tanya novel Ayat-ayat Cinta.
           Aku berpikir sejenak “sedikit masalah dengan guru” ujarku kemudian.
           “Masalah apa?”
           “Ia ketahuan menulis cerita saat jam pelajaran pengetahuan menu”
           “Terus?”
           “Ia dikasih ultimatum oleh Bu Lia, kalau ia masih melakukan itu ia akan dilaporkan ke kepala sekolah dan mengirimkan surat pemberitahuan ke orangtua Taufan”
           “Ah, itu tak akan mempan, bagi Taufan menulis adalah hal terpenting dalam hidupnya, aku pernah membaca kalau menulis itu menghilangkan stres karena dengan menulis kita bisa menumpahkan semuanya, terapi yang sangat bagus bagi orang-orang yang sedang punya masalah” Black menanggapi.
           “Ya, dan Taufan tak akan pernah memberitahu orangtuanya jika ia mendapat hukuman lagi, orangtuanya tak pernah peduli, kan?” aku berujar dengan agak geram.
           Ya, memang benar, orang tua Taufan tak kan pernah tahu masalah yang sedang di hadapi Taufan, orang tuanya sedang merantau di negeri orang mencari penghasilan dari kerja sebagai TKI.
           Novel Harry Potter mengangguk setuju, wajahnya tampak sendu. Semuanya menjadi hening memikirkan nasib Taufan.
           “Alhamdulillah, segarnya…” Taufan baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk, rambutnya tampak basah, ia terlihat riang seperti tak menanggung beban apa pun.
           “Lihatlah, Taufan tak pernah larut dalam kesedihannya” ujar Black yang masih tergeletak di atas kasur.
           Semua tersenyum lega.
           “ Taufan!”  suara wanita yang sudah renta menghentikan senyuman semua yang berada di kamar Taufan “kamu baru pulang? Kenapa pulang larut malam?” rupanya nenek khawatir dengan kelakuan Taufan.
# # #
           “Elaborate…” Taufan tampak berpikir “dessert plate, soup bowl, soup spoon, dessert knife…” Fauzan menunjuk peralatan makan di hadapannya yang berjajar di atas meja peralatan. Hari ini kelas restoran sedang ujian table set di ruang resto sekolah.
           “Kau memilih elaborate?” tanya Pak Heri, guru tata hidang “kau yakin?”
           “Aku yakin aku bisa, Pak!” jawab Taufan mantap. Taufan memilih elaborate, salah satu penataan meja makan yang paling lengkap dan mewah, biasanya digunakan di restoran-restoran  masakan Eropa.
           “Bukan karangan belaka, kan? Di kelas ini kau tak bisa memanjakan dirimu dengan menulis cerita saat sedang jam pelajaran” Pak Heri berujar lagi.
           “Tentu saja, Pak, aku tidak akan nakal di kelas ini dengan kelakuanku yang menurut guru-guru sangat jelek”
           “Baiklah, saya percaya”
           Dengan cekatan dan hati-hati Taufan menata meja, ia tak perlu mengukur jarak ujung piring dengan permukaaan meja, ia sudah hafal, dari cara sikap tubuh saat menata meja sampai cara memegang peralatan saat ditaruh di atas meja.
           “Bagus, kau hanya menghabiskan  beberapa menit saja” Ujar Pak Heri senang          “sempurna!” Pak Heri terus memandang hasil kerja Taufan.
           “Terima kasih,Pak!” Taufan tersenyum ceria.
           “ Calon waiter yang baik” Pak Heri menepuk pundak Taufan.
           “Juga penulis yang baik” Taufan menambahkan.
           Pak Heri mengangguk-angguk “ya,ya…”
           “Nah, Violet, kita akan menulis cerita setelah ini, ceritanya sebentar lagi akan selesai” Taufan meraihku di saku khusus di seragam waiternya sesaat setelah beranjak keluar dari ruang resto tempat ujian.
           “Hai, Taufan!” seorang laki-laki dengan seragam yang samadatang tergopoh-gopoh “aku mencari kamu dari tadi, mana ceritanya?”
           Taufan nyengir “ ma’af, Zan, hari ini aku akan selesaikan ceritanya, nanti malam aku kasih ke kamu ,oke?”
           Fauzan tersenyum, “wah, jadi ceritanya sudah mau selesai, nich?”
           “Ya, dan tugas kamu mengetiknya sebentar lagi selesai, sekertarisku” Taufan tertawa.
           “Gimana endingnya?”
           “Wah, kalau dikasih tau duluan gak bakal seru, donk”
           Fauzan sedikit merengut “ ya, sudahlah,aku tunggu”
# # #
           “Selesai!” seru Taufan  mengagetkan aku juga Black, sekaligus mengundang tatapan tajam Pak Rino, guru matematika di kelas restoran.
           “Taufan!” tegur Pak Rino “Berapa kali kamu melanggar ?”  Pak Rino menatap tajam.
           Taufan tersentak kaget, matanya memandang sekeliling, tampak semua temannya menatapnya heran.
           “ Apa yang sedang kamu kerjakan?”
           “Eng…matematika, Pak!” jawab Taufan tersenyum. Tampak Fauzan menepuk jidatnya, aku ikut cemas karenanya.
           “Saya tidak menyuruh mengerjakan sesuatu, kamu tidak mendengarkan saya?”
           “Eng…ma’af, Pak!”
           Suasana menjadi tegang.
           “Bawa ke sini bukunya!”
           “Duh, gawat!” Taufan bergumam.
           “Black, gimana?” aku bertanya pada Black yang bersandar di kursi Taufan.
           “I don’t know and Idon’t like this situation” Black meringis.
           Aku melihat Taufan berjalan pelan-pelan sambil menunduk, di tangannya ada buku tulis yang penuh dengan cerita karyanya yang baru rampung. Pak Rino hanya geleng-geleng kepala, mungkin sudah bosan dengan tingkah aneh muridnya. Aku memejamkan mata, tak kuasa melihat apa yang akan terjadi.
           “Ini bukan waktunya pelajaran mengarang, Taufan!” suara Pak Rino kembali terdengar, pasti ia membaca catatan Taufan.
           “Setelah jam pelajaran ini selesai kamu ikut saya ke ruang BP!”
           “Pak!” suara seseorang “Ini salah saya juga, Pak, saya yang menyuruh Taufan menyelesaikan ceritanya”  Fauzan  angkat bicara.
           Semua mata tertuju pada Fauzan yang tiba-tiba membela Taufan.
           “Hmm…ya, kalian berdua menghadap ke BP nanti!”
# # #
           Sepekan setelah peristiwa pemanggilan Taufan dan Fauzan ke ruang BP, aku merasakan resah yang tak terbendung, semakin khawatir melihat keadaaan Taufan yang sangat berbeda dari biasanya, hari ini juga ia tak kerja di restoran. Sejak pulang dari sekolah Taufan hanya termenung di depan meja belajarnya, aku pun tak disentuhnya, tak ada tulisan-tulisan Taufan yang membuatku menikmati gerakan tangannya.
           Duh...apa yang sebenarnya terjadi dengan Taufan? Hukuman apa yang diberikan guru BP pada Taufan?.
           “Black? Ada apa sebenarnya dengan teman kita?” tanyaku pada Black yang tergeletak di dekatku, masih di atas meja bersama buku-buku lain yang berserakan.
           “Hhh...aku juga tak tahu, Violet!” sahut Black “waktu mereka masuk ke ruang BP kita kan tidak ikut”
           “Kita perlu menanyakannya, Black. Tapi, bertanya pada siapa?”
           “Ah, sudahlah! Kita ditakdirkan Allah sebagai benda mati, saksi bisu segala perilaku manusia” Black menimpali “Kita tidak bisa berbicara denagn manusia”
           “Berdo'a saja, kawan-kawan!” novel Ayat-ayat Cinta angkat bicara “mudah-mudahan tak terjadi apa-apa”
           “Ya, Allah tak akan membiarkan hamba-Nya menderita karena resah seperti ini” buku yang lain menanggapi.
           Aku masih menatap Taufan yang semakin tengelam dalam lamunannya. Ya, Allah, apa sich yang ada dalam pikirannya saat ini?
           “Tok...tok...tok!”
           Suara ketukan di pintu membuat kami tersentak.
           “Asssalamu'alakum”
           Kini diiringi ucapan salam. Aih...sepertinya aku kenal pemilik suara ini.
           “Ah, itu Fauzan!” Black berseru.
           “Sebentar lagi kita akan tahu permasalahan yang dihadapi Taufan” sahutku girang, aku mulai lega karena kedatangan Taufan.
           “Mudah-mudahan!” sahut yang lain.
           “Wa'alaikumsalam!” Taufan bangkit dari duduknya, ia berjalan menghampiri pintu.
           Alhamdulillah, kamu patut bersyukur, Violet! Kalau tak ada yang datang mengusik lamunan Taufan mungkin Taufan akan terus melamun, kalau kesambet jin, gimana?.
           “Kusut amat mukamu itu, Fan!' ujar Fauzan setelah dipersilahkan masuk oleh Taufan “Senyum, dong!”
           “Aku masih kaget, Zan!” ujar Taufan.
           Hah? Kaget? Ada apa ini? Kenapa dia tidak bercerita padaku? Biasanya saat ada masalah apa pun Taufan suka bercerita padaku bersama catatan hariannya.
           “Ah, Taufan. Hal seperti itu sudah biasa” Fauzan mulai menasehati Taufan yang mukanya tampak semakin muram.
           “Tapi, itu bikin aku tidak PD lagi untuk nulis, Zan!”
           “Ditolak itu resiko” Fauzan menanggapi “Karya kamu baru sekali diolak. Coba, kau ingat-ingat lagi, penulis-penulis besar yang sudah terkenal awalnya karya mereka ditolak beberapa kali, bahkan puluhan kali, tapi mereka tak pernah menyerah, Fan!”
           Oh, jadi itu permasalahannya. Karya tulis yang berbentuk novel yang ditulis oleh Taufan ternyata ditolak oleh penerbit, perjuangannya selama enam bulan tak membuahkan hasil yang menyenangkan baginya.
           “Kamu harus bersyukur karena pihak sekolah tak mengeluarkanmu. Perilakumu di kelas ketika jam pelajaran ternyata masih dimaklumi oleh kepala sekolah. Asal kamu tidak melakukannya lagi!” Fauzan terus berkomentar,
           “Thanks, kawan!” Taufan sedikit tersenyum, mendung di wajanya perlaan memudar.
           “Bangkitlah, kawan!” Fauzan bersemangat “jangan pernah menyeah! Kau pasti menjadi seorang penulis yang hebat!”
           “Kamu benar” Taufan bangkit “aku tak akan menyerah!”
           “Aku akan tetap menjadi sekertarimu, kamu kan belum punya komputer” Fauzan merangkul bahu Taufan, tersenyum.
           Hore! Eh, Alhamdulillah! Aku dan teman-teman bersorak gembira. Taufan telah kembali, seorang calon penulis hebat akan beraksi kembali ditemani si pena bernama Violet, aku!
           “Aaa...!” aku terlonjak kaget. Taufan meraih tubuh sampingku dan mengambil selembar kertas di dekatnya.
           TAK ADA KATA MENYERAH KARENA AKU SI PENULIS HEBAT!
           Tubuhku meliuk-liuk di genggaman tangan kanan Taufan, aku kembali merasakan sensasi menyenangkan saat menemani Taufan merangkai kata-kata, menggoreskan tintaku di atas kertas-kertas yang telah menunggu diisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar