Sabtu, Juni 16, 2012

MENGEJAR DEADLINE


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah

            “Tuk…tuk…tuk…”
            Suara pena yang meloncat-loncat di atas meja karena diketukkan oleh pemiliknya terdengar mengalun merdu, iramanya mengikuti detakan jantung dan desahan nafas yang memburu dari jiwa-jiwa yang sedang mengembara.
            “Hm…”
            “Hhhh…”
            “Apa, ya?”
            Beberapa orang bergumam, bereaksi dengan pengembaraannya masing-masing, tak ada yang menanggapi. Semua sibuk mengembara, mencari sesuatu dalam laci-laci pikirannya.
            “Srek…srek…srek…”
            “Srak…srak...srak...”
            Suara lembaran buku yang dibolak-balik lembarannya melengkapi irama ketukan pena.
            “Tik…tik…tik…”
            Detakan jarum jam terdengar jelas mengalun ikut menghanyutkan suasana khusyu yang menciptakan hening. Waktu terus bergulir, tak ada sesuatu yang membuyarkan pengembaraan mereka. Pengembaraan beberapa orang jurnalis yang mendirikan redaksi majalah di sebuah sekolah kejuruan terakreditasi A.
            “Tok…tok..tok…”
            Terdengar ketukan dari balik pintu yang sengaja dikunci rapat. Tak ada yang bereaksi seakan mereka tak mendengarnya. Para pengembara itu terlalu khusyu dengan jejak-jejak di pikirannya masing-masing.
            “Tok…tok…tok…”
            “Assalamu’alaikum”
            Sekali lagi suara ketukan itu terdengar, kini diiringi dengan ucapan salam dari seorang laki-laki. Tapi, masih seperti tadi tak ada reaksi apa pun dari para pengembara pikiran.
Tampak di luar, di balik pintu masuk ruangan redaksi dua orang siswa laki-laki berpakaian seragam ala koki sedang berdiri meghadap pintu, seorang diantaranya memegang tray atau biasa disebut nampan di Indonesia, di atasnya empat mangkuk mie bakso dengan kuah yang masih mengepul, mengundang selera.
            “Ah, sudahlah mungkin tak ada orang” ujar seorang siswa yang membawa tray.
            “Eh, ada sepertinya. Lu liat aja dari sini” seorang lagi menyanggah sambil melongokkan kepalanya ke jendela ruangan jurnalistik yang tampak sepi.
            “Aduh… tanganku pegel, nich!” si Pembawa tray mengeluh, di wajahnya tersirat kepasrahan dan kelelahan.
            “Gaya amat, sich, lu. Taruh aja nampannya di sono!”  temannya nyengir mendengar keluhan si Pembawa tray, kepala dan pandangannya diarahkan ke meja di sudut lorong dekat ruang jurnalistik yang kadang disebut ruang redaksi. Ruangan redaksi majalah sekolah mereka memang sengaja disediakan di ujung koridor, lantai dua sekolah, tujuannya sich agar tidak terganggu dengan aktivitas para perusuh eh para pendukung dan pemandu sorak atau  cheerleader yang berisiknya minta ampun ketika jagoan basket mereka sedang beraksi memainkan si kulit bundar, hhh... kalo gak pakai penutup telinga mungkin gendang telinga akan pecah.
            “Yee, bukan gaya, tapi aku tuh mempraktekkan apa yang disampaikan sama guru tata hidang kita, pelayanan kita harus bagus, Mad” si Pembawa tray membela diri, mengeluarkan jurus andalannya, alasan dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
            “Ah, gue males dengerin alasan lu yang nyangkutnya ke pelajaran terus” ujar laki-laki yang dipanggil Mad, nama lengkapnya Ahmad. Siswa bertubuh bongsor itu masih melongok ke jendela ruangan redaksi.
            “Kita kan anak kelas Resto, Mad, jangan malu-maluin kelas tercinta kita dengan perilaku dan pikiran kamu yang tidak mencitrakan seorang siswa kelas Restoran”
            “Ah, capek gue ngomong ama lu, Din” aura tak menyenangkan terpancar dari wajah Ahmad.
            “Aku malu lihat kamu ngintip ke jendela ruangan orang, kayak ngintipin apa, gitu. Mau matamu itu bintilan, ya?
            “Ya, Din, ada semua, tuh!” Ahmad tidak memperdulikan perkataan temannya, ia tak ingin menyulut pertengkaran kecil karena hal sepele seperti ini.
            “Ah, sempat-sempatnya kamu ngitung”
            “Gue mempraktekkan pelajaran matematika, kan hidup ini penuh dengan teori matematika” Ahmad tak mau kalah, ia tersenyum penuh kemenangan seakan ia telah menandingi daya intelektualitas temannya, Adin “Eh, baksonya mau dijual, gak?
            “Ya lah, buat nutupin modal” ujar Adin “Ketuk lagi pintunya, Mad!”
            “Gue gak puas kalo Cuma ngetuk berkali-kali kalo gak dibukain, sekalian aja gue gedor pintunya”
Adin terbelalak mendengar penuturan Raja Pencicip masakan di lab tata  boga itu.
            “Sadis benar, kamu. Pake etika, Mad!”
            “Itu caranya kalo mau untung” Ahmad bersiap mengetuk pintu tapi tangannya mengepal seperti mau menggedor pintu yang dikunci rapat itu.

Sementara itu di dalam ruangan redaksi.
            “Tuk…tuk…tuk…”
            “Tik…tik...tik…”
            Suara pena yang meloncat-loncat dan detakkan jarum jam masih mengalun merdu mengiringi pengembaraan para reporter majalah sekolah, bukan hanya para reporternya, sang pemred alias pemimpin redaksi, bendahara, dan illustrator pun ikut tenggelam dalam lautan pengembaraan mereka, hal yang tak pernah terjadi dilakukan di kepengurusan mereka.
            “Ya Tuhan, berikan kami ide!” seorang siswa dengan jas abu-abu khas kelas Penjualan sedang mondar-mandir di tengah ruangan, sepasang mata dibalik kacamata minus dengan frame putihnya menyiratkan kepasrahan dan keseriusan. Rambutnya yang lurus tegak seperti sapu ijuk seolah ikut serius seperti tuannya.
            Di dekatnya dua orang reporter dan satu orang bendahara sedang membolak-balikkan majalah, buku pedoman kepenulisan, novel bahkan komik-komik jepang. Mereka mengembara sambil membuka halaman demi halaman yang sangat berharga, seolah satu huruf pun sangat berharga bagi mereka.
Sementara di sofa empuk yang sengaja mereka beli untuk melepas lelah setelah meliput di area sekolah, seorang berseragam koki yang masih lengkap dengan appron atau celemek yang melingkar di pingggangnya sedang memainkan sebuah kamera digital.
            Di sudut ruangan tiga buah meja berdiri kokoh seolah tak mengenal kepasrahan para siswa dari berbagai jurusan itu, dengan suka dan rela mengurus majalah sekolah yang dua tahun lalu hampir punah ditelan kepopuleran dunia maya di kalangan pelajar sehingga minat baca mereka sangat minim.
            Di sebuah meja di pojok kanan tampak seorang siswa berseragam pink dengan celana panjang motif kotak-kotak,  seragam kelas Fashion, ia sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, gerakan kepalanya mengikuti alunan music yang ia nikmati dari MP4-nya lewat headphone yang selalu melekat di kepalannya setiap kali ia mencari ide dan menulis, di atas mejanya berserakan kertas yang telah penuh dengan goresan-goresan pensil yang membentuk sketsa dan gambar-gambar kartun.
            Di meja sebelahnya seorang siswi berjilbab yang juga sama habitatnya dengan si Illustrator penikmat music tadi--kelas fashion--, ia sedang termenung menatap monitor computer di hadapannya yang sedang memainkan screen saver. Dari matanya seakan terucap “duhai, ide, jangan bersembunyi, deadlinenya satu minggu lagi!”
            Dan di meja ujung sebelah kiri seorang reporter sedang memainkan pena sehingga benda bertubuh ramping itu seolah meloncat-loncat berirama.
            “Kruk…kruk…kruk…”
            Terdengar suara yang merusak irama yang mengalun sebagai pengiring pengembaraan para reporter dan teman-temannya, suara itu terdengar dari gudang penyimpanan berbagai makanan dan zat yang ditelan oleh si Pemilik pena.
            “Ups!” sontak ia memegangi perutnya.
            Sang Pemred berhenti mondar-mandir, begitu juga dengan para pengembara ide yang membolak-balikkan halaman berbagai macam buku menghentikan aktivitasnya masing-masing. Semua yang berada di ruangan itu menoleh ke sumber suara kecuali si Illustrator yang masih mengangguk-anggukan kepalanya dengan mata terpejam. Sepertinya suara tak diundang itu mengusik pengembaraan mereka.
            “Suara apa itu?” seorang reporter yang sedang duduk di sofa bertanya.
            Si Pelaku tampak merah padam mukanya, pena yang meloncat-loncat menimbulkan alunan merdu tak lagi beraksi, kini pena itu tergeletak di atas meja.
            “Hehehe…” si Pelaku nyengir kuda “koq, kalian liatin gue kayak gitu?”
            “Suara perut lu, ya?” Tanya sang Pemred.
            “Peace…” si Pelaku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk victory, ia merasa berdosa.
            “Kenceng banget suaranya” ujar siswi di meja samping.
            “Ya, dari kemarin gue gak makan” wajahnya kini memelas, seperti pengemis yang ketahuan bohong saat berkata tak makan dan minum selama satu minggu, dah mati duluan kayaknya.
            “Hm…sepertinya aku mencium sesuatu, deh” si Illustrator akhirnya angkat bicara dan membuka matanya. Hidungnya mengendus seperti anjing pelacak para polisi. Ia melepas headphonenya.
            “Insting lu udah jalan lagi, berarti udah dapet ide, tuh!” salah seorang yang menekuri halaman demi halaman komik jepang berujar.
            “Kawan-kawan, aku keluar dulu, ya, mau cari makanan” si Illustrator bangkit dari duduknya berjalan ke arah pintu “Son, di kelas kamu lagi bikin apa sekarang?” tanyanya kemudian kepada seorang reporter yang sedang duduk di sofa, Sony namanya.
            “Bikin bakso” jawabnya pendek.
            Sang Illustrator memegang handle pintu.
            “Krek...”
            Saat ia membuka pintu di hadapannya sudah ada dua orang berseragam koki seperti Sony, yang satu memegang  tray sambil tersenyum ramah kepadanya, dan satu lagi sedang mengepalkan tangannya dengan mata yang terbelalak. Si Illustrator kaget dan lansung menutup kembali pintunya.
            “Ada apa. Beng?” Tanya sang Pemred.
            “Ada mahluk yang mendatangkan keberuntungan bagi kita, tapi yang satunya lagi terlihat sangar” si Illustrator bernama Ibeng menjelaskan.
            “Maksud kamu Si Ahmad sama Si Adin?” Sony menebak.
            “Ya..” jawab Ibeng kebingungan “ terima, gak, ya?” ia meminta saran dari orang lain seperti seorang cewek yang ditembak cowok.
            “Rizki ngapain ditolak, Beng” si Pelaku pengusik pengembaraan menanggapi.
            “Bener juga, kamu, Hari” ujar siswi berjilbab di meja samping.
            “Cepetan, Beng, embat aja” Hari menimpali lagi “aku laper nich…”
            “Ah, lu kira mereka daging, apa?”  Pemred menanggapi perkataan Hari.
            “Dia kan jelmaan Harimau di hutan sebelah, Fan!” celetuk yang lain yang sedang membereskan majalah dan buku-buku lain yang berserakan.
            “Ah, Taufan, masa kamu percaya sama dia” bela Hari sambil menatap Sang Pemred dengan tatapan manjanya.
            “Gue gak percaya, masa Harimau manja” Sang Pemred yang dipanggil Taufan menanggapi “udah, Beng kita beli aja tuh dagangan mereka”
            Hari, Sony, Sofi yang berjilbab, dan beberapa orang lainnya tampak ceria mendengar keputusan Taufan.
            Ibeng langsung membuka pintunya kembali dengan wajah gembira.
            “ Kita pesan delapan porsi, ya, Din”
            Wajah Adin dan Ahmad tampak ceria.
            “Tapi ngutang dulu, ya?”
            “Hhh…” Adin dan Ahmad berubah kecewa.

# # #
            BERITA YANG ASYIK DONK, SELAMA INI MAJALAH CIHUY TAK PERNAH BIKIN PARA PEMBACA HEBOH, BIKIN KITA TERTARIK BACA SEMUA RUBRIKNYA…JANGAN MONOTON LAGI. SESUATU YANG UNIK DI SEKOLAH. (pesan pembaca majalah Cihuy)
DEADLINE TANGGAL 10 MEI 2011
            Tulisan itu terpampang di papan tulis di ruangan jurnalistik. Ternyata itulah yang membuat mereka tenggelam dalam pengembaraan mencari ide. Karena terbilang para jurnalis pemula, mereka baru sadar kalau selama ini rubrik-rubrik  yang mereka suguhkan ke para pembaca tak banyak yang menarik, selama ini mereka hanya mengangkat berita tentang sekolah dan guru-gurunya yang penuh keteladanan serta murid-murid yang sangat cerdas, cerdik dan terpelajar.
            “Ehm..ada yang sudah dapat ide tentang tema kita?” Tanya Taufan.
            Semua yang hadir menggeleng lemah.
            “Sepertinya gue akan mendapat ide setelah meminum seteguk teh botol sosro” Hari angkat bicara disambut pelototam Taufan dan yang lainnya.
            “Duh…ya, bener..” Hari merasa bersalah telah mengatakannya “aku buktiin. Ya!” Hari langsung bangkit dan ngibrit keluar.
            “Gila, gue udah haus banget” gumamnya.
            Hari cepat-cepat menuruni anak tangga, ia berniat menuju kantin sekolah di bawah dekat lapangan basket.
            Lapangan basket tampak berbeda dari biasanya, yang biasanya ramai dengan para supporter tim pemain basket dan jeritan tak jelas para cheerleaders kini ramai dengan suara para siswa yang mengelu-elukan para calon koki yang sedang berkompetisi membuat hidangan ala eropa atau yang biasa disebut Continental Foods, terlihat tiga orang siswa berseragam koki sedang beraksi di belakang meja kerjanya masing-masing dengan didampingi seorang asistent.
            “Woi, koki kita pasti menang” teriak salah seorang siswa “kelas Resto-3 pasti yang terbaik”
            “Huuuhh” anak-anak yang lain menyambut dengan ledekan.
            “Kelas Resto-1, ayo!” teriak yang lain tak mau kalah “Firman pasti menang”
            Seorang peserta lomba yang merasa disebut namanya tersenyum, aksinya semakin menjadi-jadi. Firman, memang dikenal sebagai orang terpintar di kelas Resto-1, dibanding Uchi dari kelas Resto-3 dan Hamdan dari Resto-2.
            “Ya, Firman emang TOP, dech” teman-teman sekelasnya terus mendukung anak kepala sekolah itu.
            Hari yang sedang meneguk teh botol sosro dingin tertarik dengan tontonan gratis perlombaan masak.
            “Siapa yang ngadain lomba?” Tanya Hari kepada salah seorang siswa Fashion.
            “Katanya kelas Resto-2 yang menantang lomba masak” jawab siswa tadi sambil berlalu pergi setelah membayar bakwan yang dimakannya.
            Hari pun mengikuti siswa itu membayar teh botol sosro. Ia berniat menonton dulu sebentar lalu kembali ke ruang jurnalistik. Ia bergabung dengan para penyemangat kelas Resto-2.
“Ya, Tuhan, jangan sampai Hamdan kalah, karena duit lima juta kita akan melayang” seorang siswa berkata.
            “Apa? Uang lima jeti?” Hari kaget karena selama ini ia sangat sensitive dengan hal-hal yang berbau keuangan berhubung SPP yang masih nunggak. Uang sebanyak itu dijadikan taruhan.
Hari pindah posisi, ia kini berkerumun di anak-anak Resto-3.
            “Lu yakin Uchi bakal menang?”
            “Gak tau “
            “Duh kenapa harus ada taruhanya, sich. Itu kan gak boleh dalam Islam”
            Dua orang siswi berjilbab terdengar bercakap-cakap.
            “Hah? Taruhan? Kabar bagus, nich, bisa jadi berita heboh” Hari bergumam, matanya berbinar. Ia mengeluarkan catatan kecil dan pena. Setelah mencatat yang penting, ia berlari ke gerombolan anak-anak Resto-1.
            “Kita kayaknya gak bakalan rugi taruhan, lihat saja Firman”
            “Jurinya juga suka dengan perfoma Firman”
            “Pastinya…”
            Hari semakin lebar senyumnya, ia berlari menuju ruang jurnalistik. Menaiki anak tangga dengan penuh semangat, menyusuri koridor sekolah dengan mata yang berbinar.
            “Brak!” pintu ruangan jurnalistik terbuka lebar disusul suara ngos-ngosan Hari yang baru datang. Anak-anak jurnalistik tampak kaget melihat Hari seperti Harimau yang tampak senang sekaligus kelelahan mencari mangsa.
            “Gue dapat berita bagus!” seru Hari.
            Seluruh kru yang tadinya terlihat kusut dan cemberut kini tampak sumringah, mendapat pencerahan. Mereka sigap berdiri dan langsung mengambil peralatan reportase masing-masing.
            “Anak-anak restorant taruhan dengan uang lima juta, mereka ngadain lomba masak di lapangan basket, sepertinya guru-guru tak tahu mereka taruhan, yang nantangin lomba kelas Resto-2” Hari menjelaskan dengan cepat.
            “Tok…tok…tok…”
            ”Dak…dik..duk…”
            “Tak…tik…tuk…”
            Suara derap langkah para reporter yang berlari menyusuri koridor dan menuruni anak tangga, suaranya terdengar memenuhi koridor sepi yang tidak terlau sempit.Tiba di lapangan basket mereka beraksi, para reporter menyebar, ada yang mengambil gambar, wawancara, nguping sana-sini, semua mereka lakukan dengan penuh semangat, hasil pengembaraan mereka tak sia-sia meski sebenarnya ide itu berasal dari Hari yang tadinya hanya berniat membeli teh botol sosro.
            “Hore…!” teriak anak-anak kelas Resto-1 saat juri memutuskan Firman lah yang menjadi juara 1.
            “Kita Pesta…!”
            “Ssst…jangan keras-keras, ketahuan taruhan gawat, Man!”
            Sementara kekecewaan jelas terpancar dari wajah anak-anak kelas Resto-2 dan Resto-3, ada yang menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke tanah tanda marah, ada yang mengumpat lawan mereka.
            “Kita kalah taruhan”
            “Uang lima juta melayang sudah”

# # #
            Sepekan setelah peliputan berita di lapangan basket, anak-anak jurnalistik terlihat berseri-seri, mereka telah memenuhi keinginan para pembaca. Kini mereka mengajukan pemindahan ruangan ke area yang agak ramai agar  dapat meliput situasi dari berbagai penjuru dan mendapatkan bahan-bahan berita yang up date.
            “Sekarang gue percaya kalo di luar itu lebih banyak ide” ujar Taufan.
            “Ya lah, daripada di dalam ruangan yang terkurung, kita bagaikan narapidana yang di penjara” Sony menimpali.
            “Kalo gue akan minum teh botol sosro sebelum cari ide” ujar Hari yang disambut timpukan buku oleh Sofi.
            “Huh, promosi!”
            “Dasar anak Penjualan!”
            Berita utama majalah Cihuy menggemparkan semua elemen di Sekolah Menengah Kejuruan yang terakreditasi A.
            “FIRMAN, ANAK SEMATA WAYANG KEPALA SEKOLAH MEMANG TOP DALAM SEGALA BIDANG, IA MENANG LOMBA MASAK CONTINENTAL FOODS DAN MEMENANGKAN TARUHAN SEJUMLAH 5 JUTA. KEPALA SEKOLAH PATUT BERBANGGA?”

 Gurfah Al-Qomar, LTIQ As-Syifa Al-Khoeriyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar