Oleh
: Nadia Rahmatul Ummah
“Tuk…tuk…tuk…”
Suara pena yang meloncat-loncat di
atas meja karena diketukkan oleh pemiliknya terdengar mengalun merdu, iramanya
mengikuti detakan jantung dan desahan nafas yang memburu dari jiwa-jiwa yang
sedang mengembara.
“Hm…”
“Hhhh…”
“Apa, ya?”
Beberapa orang bergumam, bereaksi
dengan pengembaraannya masing-masing, tak ada yang menanggapi. Semua sibuk
mengembara, mencari sesuatu dalam laci-laci pikirannya.
“Srek…srek…srek…”
“Srak…srak...srak...”
Suara lembaran buku yang
dibolak-balik lembarannya melengkapi irama ketukan pena.
“Tik…tik…tik…”
Detakan jarum jam terdengar jelas
mengalun ikut menghanyutkan suasana khusyu yang menciptakan hening. Waktu terus
bergulir, tak ada sesuatu yang membuyarkan pengembaraan mereka. Pengembaraan
beberapa orang jurnalis yang mendirikan redaksi
majalah di sebuah sekolah kejuruan terakreditasi A.
“Tok…tok..tok…”
Terdengar ketukan dari balik pintu
yang sengaja dikunci rapat. Tak ada yang bereaksi seakan mereka tak
mendengarnya. Para pengembara itu terlalu khusyu dengan jejak-jejak di pikirannya
masing-masing.
“Tok…tok…tok…”
“Assalamu’alaikum”
Sekali lagi suara ketukan itu
terdengar, kini diiringi dengan ucapan salam dari seorang laki-laki. Tapi,
masih seperti tadi tak ada reaksi apa pun dari para pengembara pikiran.
Tampak
di luar, di balik pintu masuk ruangan redaksi dua orang siswa laki-laki
berpakaian seragam ala koki sedang berdiri meghadap pintu, seorang diantaranya
memegang tray atau biasa disebut
nampan di Indonesia, di atasnya empat
mangkuk mie bakso dengan kuah yang masih mengepul, mengundang selera.
“Ah, sudahlah mungkin tak ada orang”
ujar seorang siswa yang membawa tray.
“Eh, ada sepertinya. Lu liat aja
dari sini” seorang lagi menyanggah sambil melongokkan kepalanya ke jendela
ruangan jurnalistik yang tampak sepi.
“Aduh… tanganku pegel, nich!” si
Pembawa tray mengeluh, di wajahnya
tersirat kepasrahan dan kelelahan.
“Gaya amat, sich, lu. Taruh aja
nampannya di sono!” temannya nyengir
mendengar keluhan si Pembawa tray, kepala dan pandangannya diarahkan ke meja di
sudut lorong dekat ruang jurnalistik yang kadang disebut ruang redaksi. Ruangan
redaksi majalah sekolah mereka memang sengaja disediakan di ujung koridor,
lantai dua sekolah, tujuannya sich agar tidak terganggu dengan aktivitas para
perusuh eh para pendukung dan pemandu sorak atau cheerleader yang berisiknya minta ampun
ketika jagoan basket mereka sedang beraksi memainkan si kulit bundar, hhh...
kalo gak pakai penutup telinga mungkin gendang telinga akan pecah.
“Yee, bukan gaya, tapi aku tuh
mempraktekkan apa yang disampaikan sama guru tata hidang kita, pelayanan kita
harus bagus, Mad” si Pembawa tray membela diri, mengeluarkan jurus
andalannya, alasan dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
“Ah, gue males dengerin alasan lu
yang nyangkutnya ke pelajaran terus” ujar laki-laki yang dipanggil Mad, nama
lengkapnya Ahmad. Siswa bertubuh bongsor
itu masih melongok ke jendela ruangan redaksi.
“Kita kan anak kelas Resto, Mad, jangan malu-maluin kelas tercinta kita
dengan perilaku dan pikiran kamu yang tidak mencitrakan seorang siswa kelas
Restoran”
“Ah, capek gue ngomong ama lu, Din”
aura tak menyenangkan terpancar dari wajah Ahmad.
“Aku malu lihat kamu ngintip ke
jendela ruangan orang, kayak ngintipin apa, gitu. Mau matamu itu bintilan, ya?
“Ya, Din, ada semua, tuh!” Ahmad
tidak memperdulikan perkataan temannya, ia tak ingin menyulut pertengkaran
kecil karena hal sepele seperti ini.
“Ah, sempat-sempatnya kamu ngitung”
“Gue mempraktekkan pelajaran
matematika, kan hidup ini penuh dengan teori matematika” Ahmad tak mau
kalah, ia tersenyum penuh kemenangan seakan ia telah menandingi daya
intelektualitas temannya, Adin “Eh, baksonya mau dijual, gak?
“Ya lah, buat nutupin modal” ujar
Adin “Ketuk lagi pintunya, Mad!”
“Gue gak puas kalo Cuma ngetuk
berkali-kali kalo gak dibukain, sekalian aja gue gedor pintunya”
Adin
terbelalak mendengar penuturan Raja Pencicip masakan di lab tata boga itu.
“Sadis benar, kamu. Pake etika,
Mad!”
“Itu caranya kalo mau untung” Ahmad
bersiap mengetuk pintu tapi tangannya mengepal seperti mau menggedor pintu yang
dikunci rapat itu.
Sementara
itu di dalam ruangan redaksi.
“Tuk…tuk…tuk…”
“Tik…tik...tik…”
Suara pena yang meloncat-loncat dan
detakkan jarum jam masih mengalun merdu mengiringi pengembaraan para reporter
majalah sekolah, bukan hanya para reporternya, sang pemred alias pemimpin
redaksi, bendahara, dan illustrator pun ikut tenggelam dalam lautan
pengembaraan mereka, hal yang tak pernah terjadi dilakukan di kepengurusan
mereka.
“Ya Tuhan, berikan kami ide!”
seorang siswa dengan jas abu-abu khas kelas Penjualan sedang mondar-mandir di
tengah ruangan, sepasang mata dibalik kacamata minus dengan frame putihnya
menyiratkan kepasrahan dan keseriusan. Rambutnya yang lurus tegak seperti sapu
ijuk seolah ikut serius seperti tuannya.
Di dekatnya dua orang reporter dan
satu orang bendahara sedang membolak-balikkan majalah, buku pedoman
kepenulisan, novel bahkan komik-komik jepang. Mereka mengembara sambil membuka
halaman demi halaman yang sangat berharga, seolah satu huruf pun sangat
berharga bagi mereka.
Sementara
di sofa empuk yang sengaja mereka beli untuk melepas lelah setelah meliput di
area sekolah, seorang berseragam koki yang masih lengkap dengan appron
atau celemek yang melingkar di pingggangnya sedang memainkan sebuah kamera
digital.
Di sudut ruangan tiga buah meja
berdiri kokoh seolah tak mengenal kepasrahan para siswa dari berbagai jurusan
itu, dengan suka dan rela mengurus majalah sekolah yang dua tahun lalu hampir
punah ditelan kepopuleran dunia maya di kalangan pelajar sehingga minat baca
mereka sangat minim.
Di sebuah meja di pojok kanan tampak
seorang siswa berseragam pink dengan celana panjang motif kotak-kotak, seragam kelas Fashion, ia sedang
mengangguk-anggukkan kepalanya, gerakan kepalanya mengikuti alunan music yang
ia nikmati dari MP4-nya lewat headphone yang selalu melekat di kepalannya
setiap kali ia mencari ide dan menulis, di atas mejanya berserakan kertas yang
telah penuh dengan goresan-goresan pensil yang membentuk sketsa dan
gambar-gambar kartun.
Di meja sebelahnya seorang siswi
berjilbab yang juga sama habitatnya dengan si Illustrator penikmat music
tadi--kelas fashion--, ia sedang termenung menatap monitor computer di
hadapannya yang sedang memainkan screen saver. Dari matanya seakan terucap
“duhai, ide, jangan bersembunyi, deadlinenya satu minggu lagi!”
Dan di meja ujung sebelah kiri
seorang reporter sedang memainkan pena sehingga benda bertubuh ramping itu
seolah meloncat-loncat berirama.
“Kruk…kruk…kruk…”
Terdengar suara yang merusak irama
yang mengalun sebagai pengiring pengembaraan para reporter dan teman-temannya,
suara itu terdengar dari gudang penyimpanan berbagai makanan dan zat yang
ditelan oleh si Pemilik pena.
“Ups!” sontak ia memegangi perutnya.
Sang Pemred berhenti mondar-mandir,
begitu juga dengan para pengembara ide yang membolak-balikkan halaman berbagai
macam buku menghentikan aktivitasnya masing-masing. Semua yang berada di
ruangan itu menoleh ke sumber suara kecuali si Illustrator yang masih
mengangguk-anggukan kepalanya dengan mata terpejam. Sepertinya suara tak
diundang itu mengusik pengembaraan mereka.
“Suara apa itu?” seorang reporter
yang sedang duduk di sofa bertanya.
Si Pelaku tampak merah padam
mukanya, pena yang meloncat-loncat menimbulkan alunan merdu tak lagi beraksi,
kini pena itu tergeletak di atas meja.
“Hehehe…” si Pelaku nyengir kuda
“koq, kalian liatin gue kayak gitu?”
“Suara perut lu, ya?” Tanya sang
Pemred.
“Peace…” si Pelaku mengacungkan jari
telunjuk dan jari tengahnya membentuk victory, ia merasa berdosa.
“Kenceng banget suaranya” ujar siswi
di meja samping.
“Ya, dari kemarin gue gak makan”
wajahnya kini memelas, seperti pengemis yang ketahuan bohong saat berkata tak
makan dan minum selama satu minggu, dah mati duluan kayaknya.
“Hm…sepertinya aku mencium sesuatu,
deh” si Illustrator akhirnya angkat bicara dan membuka matanya. Hidungnya
mengendus seperti anjing pelacak para polisi. Ia melepas headphonenya.
“Insting lu udah jalan lagi, berarti
udah dapet ide, tuh!” salah seorang yang menekuri halaman demi halaman komik
jepang berujar.
“Kawan-kawan, aku keluar dulu, ya,
mau cari makanan” si Illustrator bangkit dari duduknya berjalan ke arah pintu
“Son, di kelas kamu lagi bikin apa sekarang?” tanyanya kemudian kepada seorang
reporter yang sedang duduk di sofa, Sony namanya.
“Bikin bakso” jawabnya pendek.
Sang Illustrator memegang handle
pintu.
“Krek...”
Saat ia membuka pintu di hadapannya
sudah ada dua orang berseragam koki seperti Sony, yang satu memegang tray sambil tersenyum ramah kepadanya,
dan satu lagi sedang mengepalkan tangannya dengan mata yang terbelalak. Si
Illustrator kaget dan lansung menutup kembali pintunya.
“Ada apa. Beng?” Tanya sang Pemred.
“Ada mahluk yang mendatangkan
keberuntungan bagi kita, tapi yang satunya lagi terlihat sangar” si Illustrator
bernama Ibeng menjelaskan.
“Maksud kamu Si Ahmad sama Si Adin?”
Sony menebak.
“Ya..” jawab Ibeng kebingungan “
terima, gak, ya?” ia meminta saran dari orang lain seperti seorang cewek yang
ditembak cowok.
“Rizki ngapain ditolak, Beng” si
Pelaku pengusik pengembaraan menanggapi.
“Bener juga, kamu, Hari” ujar siswi
berjilbab di meja samping.
“Cepetan, Beng, embat aja” Hari
menimpali lagi “aku laper nich…”
“Ah, lu kira mereka daging,
apa?” Pemred menanggapi perkataan Hari.
“Dia kan jelmaan Harimau di hutan
sebelah, Fan!” celetuk yang lain yang sedang membereskan majalah dan buku-buku
lain yang berserakan.
“Ah, Taufan, masa kamu percaya sama
dia” bela Hari sambil menatap Sang Pemred dengan tatapan manjanya.
“Gue gak percaya, masa Harimau
manja” Sang Pemred yang dipanggil Taufan menanggapi “udah, Beng kita beli aja
tuh dagangan mereka”
Hari, Sony, Sofi yang berjilbab, dan
beberapa orang lainnya tampak ceria mendengar keputusan Taufan.
Ibeng langsung membuka pintunya
kembali dengan wajah gembira.
“ Kita pesan delapan porsi, ya, Din”
Wajah Adin dan Ahmad tampak ceria.
“Tapi ngutang dulu, ya?”
“Hhh…” Adin dan Ahmad berubah
kecewa.
# # #
BERITA YANG ASYIK DONK, SELAMA INI
MAJALAH CIHUY TAK PERNAH BIKIN PARA PEMBACA HEBOH, BIKIN KITA TERTARIK BACA
SEMUA RUBRIKNYA…JANGAN MONOTON LAGI. SESUATU YANG UNIK DI SEKOLAH. (pesan
pembaca majalah Cihuy)
DEADLINE
TANGGAL 10 MEI 2011
Tulisan itu terpampang di papan
tulis di ruangan jurnalistik. Ternyata itulah yang membuat mereka tenggelam
dalam pengembaraan mencari ide. Karena terbilang para jurnalis pemula, mereka
baru sadar kalau selama ini rubrik-rubrik
yang mereka suguhkan ke para pembaca tak banyak yang menarik, selama ini
mereka hanya mengangkat berita tentang sekolah dan guru-gurunya yang penuh
keteladanan serta murid-murid yang sangat cerdas, cerdik dan terpelajar.
“Ehm..ada yang sudah dapat ide
tentang tema kita?” Tanya Taufan.
Semua yang hadir menggeleng lemah.
“Sepertinya gue akan mendapat ide
setelah meminum seteguk teh botol sosro” Hari angkat bicara disambut
pelototam Taufan dan yang lainnya.
“Duh…ya, bener..” Hari merasa
bersalah telah mengatakannya “aku buktiin. Ya!” Hari langsung bangkit dan
ngibrit keluar.
“Gila, gue udah haus banget”
gumamnya.
Hari cepat-cepat menuruni anak
tangga, ia berniat menuju kantin sekolah di bawah dekat lapangan basket.
Lapangan basket tampak berbeda dari
biasanya, yang biasanya ramai dengan para supporter tim pemain basket dan
jeritan tak jelas para cheerleaders kini ramai dengan suara para siswa yang
mengelu-elukan para calon koki yang sedang berkompetisi membuat hidangan ala
eropa atau yang biasa disebut Continental
Foods, terlihat tiga orang siswa berseragam koki sedang beraksi di belakang
meja kerjanya masing-masing dengan didampingi seorang asistent.
“Woi, koki kita pasti menang” teriak
salah seorang siswa “kelas Resto-3 pasti yang terbaik”
“Huuuhh” anak-anak yang lain
menyambut dengan ledekan.
“Kelas Resto-1, ayo!” teriak yang
lain tak mau kalah “Firman pasti menang”
Seorang peserta lomba yang merasa
disebut namanya tersenyum, aksinya semakin menjadi-jadi. Firman, memang dikenal
sebagai orang terpintar di kelas Resto-1, dibanding Uchi dari kelas Resto-3 dan
Hamdan dari Resto-2.
“Ya, Firman emang TOP, dech”
teman-teman sekelasnya terus mendukung anak kepala sekolah itu.
Hari yang sedang meneguk teh botol
sosro dingin tertarik dengan tontonan gratis perlombaan masak.
“Siapa yang ngadain lomba?” Tanya
Hari kepada salah seorang siswa Fashion.
“Katanya kelas Resto-2 yang
menantang lomba masak” jawab siswa tadi sambil berlalu pergi setelah membayar
bakwan yang dimakannya.
Hari pun mengikuti siswa itu
membayar teh botol sosro. Ia berniat menonton dulu sebentar lalu kembali
ke ruang jurnalistik. Ia bergabung dengan para penyemangat kelas Resto-2.
“Ya,
Tuhan, jangan sampai Hamdan kalah, karena duit lima juta kita akan melayang”
seorang siswa berkata.
“Apa? Uang lima jeti?” Hari kaget
karena selama ini ia sangat sensitive dengan hal-hal yang berbau keuangan
berhubung SPP yang masih nunggak. Uang sebanyak itu dijadikan taruhan.
Hari
pindah posisi, ia kini berkerumun di anak-anak Resto-3.
“Lu yakin Uchi bakal menang?”
“Gak tau “
“Duh kenapa harus ada taruhanya,
sich. Itu kan gak boleh dalam Islam”
Dua orang siswi berjilbab terdengar
bercakap-cakap.
“Hah? Taruhan? Kabar bagus, nich,
bisa jadi berita heboh” Hari bergumam, matanya berbinar. Ia mengeluarkan
catatan kecil dan pena. Setelah mencatat yang penting, ia berlari ke gerombolan
anak-anak Resto-1.
“Kita kayaknya gak bakalan rugi
taruhan, lihat saja Firman”
“Jurinya juga suka dengan perfoma
Firman”
“Pastinya…”
Hari semakin lebar senyumnya, ia
berlari menuju ruang jurnalistik. Menaiki anak tangga dengan penuh semangat,
menyusuri koridor sekolah dengan mata yang berbinar.
“Brak!” pintu ruangan jurnalistik
terbuka lebar disusul suara ngos-ngosan Hari yang baru datang. Anak-anak jurnalistik tampak kaget melihat Hari
seperti Harimau yang tampak senang sekaligus kelelahan mencari mangsa.
“Gue dapat berita bagus!” seru Hari.
Seluruh kru yang tadinya terlihat
kusut dan cemberut kini tampak sumringah, mendapat pencerahan. Mereka sigap
berdiri dan langsung mengambil peralatan reportase masing-masing.
“Anak-anak restorant taruhan dengan
uang lima juta, mereka ngadain lomba masak di lapangan basket, sepertinya
guru-guru tak tahu mereka taruhan, yang nantangin lomba kelas Resto-2” Hari
menjelaskan dengan cepat.
“Tok…tok…tok…”
”Dak…dik..duk…”
“Tak…tik…tuk…”
Suara derap langkah para reporter
yang berlari menyusuri koridor dan menuruni anak tangga, suaranya terdengar
memenuhi koridor sepi yang tidak terlau sempit.Tiba di lapangan basket mereka
beraksi, para reporter menyebar, ada yang mengambil gambar, wawancara, nguping
sana-sini, semua mereka lakukan dengan penuh semangat, hasil pengembaraan
mereka tak sia-sia meski sebenarnya ide itu berasal dari Hari yang tadinya
hanya berniat membeli teh botol sosro.
“Hore…!” teriak anak-anak kelas
Resto-1 saat juri memutuskan Firman lah yang menjadi juara 1.
“Kita Pesta…!”
“Ssst…jangan keras-keras, ketahuan
taruhan gawat, Man!”
Sementara kekecewaan jelas terpancar
dari wajah anak-anak kelas Resto-2 dan Resto-3, ada yang menangis,
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah tanda marah, ada yang mengumpat lawan
mereka.
“Kita kalah taruhan”
“Uang lima juta melayang sudah”
# # #
Sepekan setelah peliputan berita di
lapangan basket, anak-anak jurnalistik terlihat berseri-seri, mereka telah
memenuhi keinginan para pembaca. Kini mereka mengajukan pemindahan ruangan ke
area yang agak ramai agar dapat meliput
situasi dari berbagai penjuru dan mendapatkan bahan-bahan berita yang up date.
“Sekarang gue percaya kalo di luar
itu lebih banyak ide” ujar Taufan.
“Ya lah, daripada di dalam ruangan
yang terkurung, kita bagaikan narapidana yang di penjara” Sony menimpali.
“Kalo gue akan minum teh botol sosro
sebelum cari ide” ujar Hari yang disambut timpukan buku oleh Sofi.
“Huh, promosi!”
“Dasar anak Penjualan!”
Berita utama majalah Cihuy
menggemparkan semua elemen di Sekolah Menengah Kejuruan yang terakreditasi A.
“FIRMAN, ANAK SEMATA WAYANG KEPALA
SEKOLAH MEMANG TOP DALAM SEGALA BIDANG, IA MENANG LOMBA MASAK CONTINENTAL FOODS
DAN MEMENANGKAN TARUHAN SEJUMLAH 5 JUTA. KEPALA SEKOLAH PATUT BERBANGGA?”
Gurfah Al-Qomar, LTIQ As-Syifa Al-Khoeriyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar