Kamis, September 18, 2014

SAAT IJAZAH MENJADI TUHAN DAN KITA MENJADI BONEKA INTELEKTUALITAS

Analisis Film 3 Idiots (2009)



Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
Dalam dunia pendidikan mendapatkan sebuah pelajaran itu tak hanya lewat buku-buku ilmiah, jurnal dan diktat yang menurut sebagian orang menjenuhkan, ada kalanya seorang pelajar atau mahasiswa termasuk para pendidik serta pengajar mempelajari teori dari fiksi termasuk novel dan film. Hal ini tentu saja membuat belajar semakin fresh, tak senang bagaimana jika tugas kuliah sesekali menonton sebuah film dan membuat resensi dari film tersebut, menonton film lebih cepat dicerna daripada mendengarkan dosen dan baca buku, karena semua unsur sugesti masuk ke dalam pikiran dan emosi kita melalui audio visual.
Para sineas dalam menciptakan sebuah film tentu saja musti menyisipkan pelajaran dan amanat, namun tak semua film memiliki nilai dan porsi sama dalam hal kualitas. Sebuah film bisa memiliki rating yang tinggi namun pelajaran yang terkandung di dalamnya belum tentu bernilai sama tinggi. Berbicara tentang rating dan nilai sebuah film tentu saja berpengaruh pada kehidupan si penonton, baik dalam gaya hidup, pola pikir, serta dalam belajar.
Three Idiots, ketika mendengar judul film ini terlintas dalam pikiran saya bahwa film yang akan saya tonton ini adalah film komedi, ya, sedikitnya saya tertarik dengan film komedi, tapi saat mendengar film ini adalah film India, saya merasa malas menontonnya, tahu sendiri film India itu pasti banyak nyanyi-nyanyi dan joget-joget, awalnya saya mengira film ini tak menarik buat seorang yang sudah terbiasa nonton film dan drama Korea, selama beberapa dekade ini film dan drama Korea jauh lebih banyak penggemarnya terutama remaja dan dewasa bahkan anak-anak pun tak ketinggalan menyukai drama Korea.
Namun ada beberapa hal yang membuat film ini berbeda dari film India lainnya, tak hanya menceritakan sebuah kisah percintaan, tapi film ini menyentil dunia pendidikan dan sedikitnya dunia ekonomi, film ini memiliki sarat nilai yang tinggi. Film ini wajib ditonton oleh akademisi, pelajar, dan mahasiswa maupun praktisi di dunia, terutama di Indonesia. Tak usah jauh-jauh kita menilai sebuah sistem cukup negara kita sendiri saja, di Indonesia ini yang paling disoroti adalah sistem pendidikan dan sistem ekonominya.
“Kami semua kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah. Tanpa ijazah kami tidak akan bisa bekerja. Tanpa bekerja, tak akan ada seorang ayah pun yang mau menikahkan anaknya, Bank tidak akan memberikan kredit, dunia tidak akan memandang kami ….” Begitulah tokoh Farhan Qureshi (R. Madhavan) memaparkan ceritanya, tak miriskah kita mendengar perkataan seperti itu? Seakan ijazah adalah Tuhan di dunia ini.

Jumat, Juni 20, 2014

JIKA TAK SEINDAH NEGERI DONGENG




Tuan,
Pernah kau berkisah padaku tentang negeri ini,
yang katamu tak seindah negeri dongeng,
Dimana angin riuh dengan desau yang menyindir,
Desau yang mengisaratkan kegetiran.

Tuan,
Jika kau berkata negeri ini tak seindah negeri dongeng
Mungkin kau bisa melihat,
Gunung-gunung yang menjulang tinggi mengelilingi negeri ini,
Berbaris rapi penuh keindahan,
Hijau dan biru nan segar dipandang,
Lautan biru luas terbentang menantang,
Angin komandokan ombak bergulung-gulung,
Datang silih berganti menepi bibir pantai,
Berjuta ikan berenang tawarkan diri,
Terumbu karang hiasi lautan,
Dan mutiara pun bersinar kilaukan samudera.


Tuan,
Katamu negeri ini yang tak seindah negeri dongeng.
Kau pernah ungkap tentang Lereng yang bertumpuk sampah,
Berbaris disana rumah tak layak tinggal,
Terdengar tangis bayi kelaparan,
Suara rintih ibu menahan kenyataan,
Seorang ayah tak kuat lagi menahan  beban,
Dan bocah-bocah kecil berlarian tak berseragam.

Jika memang tak seindah negeri dongeng,
Cobalah Tuan tengok,
Negeri ini punya gedung-gedung tinggi pencakar langit,
Tertata megah hiasi metropolitan,
Teknologi berkembang pesat,
Kita tak butuh sihir seperti dalam negeri dongeng di anganmu.

Tuan,
Kau masih saja berdendang tentang negeri ini yang katamu tak seindah negeri dongeng.
Yang katanya negara ini negara miskin, berbangsa bodoh, dan pemimpin yang tak bermoral,
Dan kau malu, kecewa, dan tak mau menerima kenyataan,
Negeri ini, negeriku juga, negerimu!

Katamu negeri ini tak seindah negeri dongeng,
Aku tak kan sama sepertimu, Tuan!
Aku tak akan sama!
Aku mencintai negeri ini yang katamu tak seindah negeri dongeng.


Dibacakan di Gebyar Muslimah 2014

Selasa, Mei 27, 2014

SEPERTI KITA YANG TELAH MATI





Seperti angin yang berhenti berhembus,
Tak ada desauan,
Tak ada tarian ilalang.

Seperti malam yang berhenti mengharapkan rembulan dan bintang,
Tak ada kemesraan,
Tak ada kerlipan.

Seperti mentari yang tak lagi mendatangi pagi,
Suram,
Tak ada senyuman.

Dan
Seperti nafas yang tak butuh oksigen lagi,
Mati.
Depok, 24 Mei 2014

Selasa, Mei 13, 2014

TENTANG GELAP




Picture From Google

AN : Saat aku memejamkan mata,
Aku bisa merasakan keheningan, aku suka.

EN : Aku selalu takut untuk memejamkan mata,
Aku tidak bisa melihat cahaya dan akau tak bisa mendengar orang-orang di sekitarku, aku tak suka!

AN : Pernahkah kau merindukan seseorang?
Pejamkanlah matamu! Kau akan bertemu di sana.

EN : Aku pernah kehilangan, dan ia hilang saat aku memejamkan mata,
Kurasa jika aku memejamkan mata lagi, aku akan kehilangan lagi.

AN : Hmm,
Aku suka jika lampu tak lagi bekerja menerangi ruangan,
Aku bisa merasakan kesejukan.

EN : Aku tak suka jika gelap tiba,
Aku tak bisa bernafas dengan bebas,

AN : Kau tahu hal terindah dari langit?
Saat malam tiba dengan berjuta bintangnya.

EN : Apakah kau pernah menikmati pagi hari?
Kau bisa menyaksikan awan dan langit tersenyum ceria menyambut mentari.

Dekat Ruang Gelap
130514

Rabu, April 30, 2014

KITA DAN KEMBALI

Rabu. 30 April 2014
Irama Kereta yang Kembali
Lagi-lagi, dalam sebuah perjalanan kita akan kembali.
Setelah melewati waktu-waktu yang sangat berbeda, berbeda dari sebelum kita pergi. Kita akan kembali, kembali pada kebiasaan.
Kita yang kembali.
Kita yang lagi-lagi akan melewati hari yang sama,
Kita yang mungkin akan kembali pada kebiasaan.
Kita dan kembali.
Semoga bukan sekadar kembali.

Foto by: Multazam Zakariyya

Minggu, April 27, 2014

KITA DAN HITAM

27 April 2014
Irama Kereta Kutoarjo

Alunan kali ini berbeda, sangat berbeda dengan alunan deru kereta menuju Malabar beberapa bulan yang lalu.

Begitu juga dengan pencarian hitam kita, tak jauh dari waktu itu--waktu menikmati irama kereta Malabar-- hitam telah kita temukan.
Sekarang,
Hitam kembali pulang, tak ada yang disisakan olehnya.
Aku, kamu dan hitam, semakin berbeda.

Senin, April 21, 2014

LELAKI YANG MENCINTAI REMBULAN


Picture By: Google


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
“Selamat sore!”
Angin menyapa saat aku melewati belakang rumah yang penuh ilalang,  hembusannya hampir memabukkanku seperti mabuknya ilalang yang disapa angin, bergoyang membentuk gelombang indah yang berirama.
“Bodoh, kenapa harus lewat belakang?” Tanya para ilalang mengejek, helai-helainya masih bergoyang mengikuti hembusan angin.
“Terserah aku, yang punya kaki kan aku sendiri, ini rumah juga rumah sendiri” aku menimpali perkataan ilalang.
“Jangan mengganggu si lelaki kita ini” sahut angin, membelaku.
“Ah, ya sudahlah jika itu maumu, aku hanya berpikir tak ada gunanya pintu depan dipasang jika tiap pulang manusia ini lewat belakang,” ilalang kembali berceloteh.
“Hmm” aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, aku capek, ingin sekali berbaring memanjakan diri di kasur atau sofa sambil menonton drama di televisi atau sambil membaca buku, ah, tapi sore ini aku akan memanjakan diriku dengan mendengarkan musik di balkon.
# # #
            “Aku merindukan rembulan hadir di sini,” langit malam berbicara padaku, wajahnya tak sedang ceria, kecuali jika rembulan ada.
            “Aku juga merindukannya,” sehelai daun anthorium menanggapi, anthorium yang selalu setia menemaniku menunggu rembulan di balkon rumah besar ini.
            “Akulah yang sangat merindukannya,” aku menatap sendu wajah langit malam tanpa berteman rembulan.
            “Alasanmu merindukannya?” Tanya langit malam penuh selidik.
            “Karena aku mencintainya.” Jawabku.
            “Kenapa mencintainya?” langit malam kembali bertanya.
            “Karena ia selalu menemaniku minum kopi disini, aku tak punya siapa-siapa selain rembulan,” aku tersenyum sambil membayangkan rembulan menerpa wajahku dengan cahaya lembutnya dengan mesra, itu yang selalu ia lakukan jika kami sedang bercengkarama, seperti sepasang kekasih.
            “Hanya karena itu?” langit malam bertanya lagi, penuh selidik, lagi.
            “Hmm... masih ada lagi, bukan hanya itu” sahutku.
            “Hei, tunggu, katamu kau tak punya siapa-siapa, terus aku ini kau anggap apa? Orang-orang di rumah ini kau anggap apa?” anthorium sedikit kesal, aku mengetahuinya dari nada bicaranya meskipun aku tak bisa melihat komat-kamit mulutnya yang sedang berbicara.
            “Kau temanku juga,” jawabku pendek, sebenarnya aku ingin tertawa mendengar pertanyaan, anthorium yang kurawat hingga ia bisa tumbuh bagus di dalam sebuah pot.
            “Kau cemburu, ya?” langit malam mengejek anthorium.
            “Tidak!” sanggah anthorium.
            “Ah, kau pasti cemburu,” lagi-lagi langit malam mengejeknya.
            “Tidak!”
            Aku hanya tertawa mendengar mereka bertengkar, mempermasalahkan cemburu. Cemburu? Aku juga pernah merasakannya. Sekitar tujuh tahun lalu, saat itu usiaku tepat 20 tahun.
            “Hei, lelaki! Bukankah tadi kau bilang bukan hanya itu alasannya, ada alasan lain kau mencintai rembulan, apa itu?” langit malam kembali ke perbincangan utama setelah puas mengejek anthoriumku.
            “Karena kau tiba hanya di waktu seperti ini, kau memang tidak pernah tahu alasannya aku mencintai rembulan”
            “Aku tak mengerti” sahut langit malam.. Anthorium hanya terdiam, ia sedikitnya tahu alasanku mencintai rembulan.
            “Kau tanyakan saja pada langit siang,”
            “Mustahil”
            “Sudahlah, sebentar lagi dini hari, kau akan segera dipanggil pulang, kan?!” aku mengingatkan langit malam.
            Jarum jam di ruang kamarku menunjukan pukul duabelas malam, aku bisa melihatnya dari balkon yang langsung terhubung dengan kamarku.
            Aku melangkah menuju kamar, membawa cangkir yang sebelumnya terisi penuh oleh moccacino.
            “Selamat beristirahat, lelaki!” ucap anthorium dan langit malam bersamaan.
# # #
            “Mari kita nikmati kebersamaan ini sebelum kita tak mampu melihat satu sama lain,” aku menengadahkan tangan ke langit, disana rembulan mengelus wajahku dengan cahayanya. Suasana balkon rumah besar ini tampak begitu mesra.
            “Jangan menakuti dia, rembulan terlalu rapuh untuh mendengar hal itu,” anthorium tiba-tiba menimpali perkataanku untuk rembulan.

Kamis, Januari 16, 2014

KITA MASIH HIDUP MESKI DALAM IMAJI



16 November
Aku ingin ungkap luka dalam bait puisi.

17 November
Silakan hadir dan pergi semaumu, aku sudah tak peduli dengan kata 'baik-baik saja' saat kau pergi... 
Kata orang harusnya aku membencimu, namun entah kenapa aku tak sanggup membencimu ..
Kata maaf tak cukup mengobati segalanya...
Kau kira segalanya akan baik saja?.. Kau keliru, tuan!

18 November
Rasanya aku ingin membunuhmu...
Selamat menikmati rasa bersalahmu, kata maaf saja tak cukup, tuan!
Kemarin aku tak sempat membunuhmu, tuan! pedangku tertinggal di rumah, hari ini semoga bisa membunuhmu.

19 November
Selamat Pagi, tuan! Selamat menikmati rasa bersalahmu!

20 November
Sprtinya kita butuh tanda koma yang menandakan kisah kita belum berakhir ....
Masih tentang dongeng kita, kau bilang dongeng ini nenjadi lebih rumit, hmm, mungkinkah si penyihir telah ikut serta?.
Tuan, dengan rasa hormat kuserahkan kenangan itu kepadamu, semoga tak menjadi dongeng buruk menjelang tidur nanti ..
Dongeng kita sudah kedatangan penyihir, kita butuh peri untuk menyempurnakannya...

27 November
Dongeng menjelang tidur tadi malam masih tersisa pagi ini, kali ini dengan debu peri yang tercecer di lantai kamar...
Tuan, aku baru mengerti jika tanpa peri aku tak ubahnya seperti pelayan kerajaan...

28 November
Tuan, dongeng kita belum berakhir ...
Tuan, jika tanpa serbuk peri aku seperti bukan permaisurimu ..
Tuan, masih ingatkah tentang warna pelangi yang sering kau hafalkan? semoga tak lupa.
Tuan, tolong jangan kejam pada setiap hati yang mudah rapuh..
Tuan, sudikah kau berlutut meminta maaf?

29 November
Semoga ilustrasi mimpi kita sama tetap sama, tuan.
Tuan, apakah itu suatu kebijaksanaan ketika kau merebut hati lalu meninggalkannya atas nama sebuah kesalahan?
Tuan, kiranya kau bukan manusia, berlaku salah tanpa merasa salah.
Tuan, kau kira itu bukan sebuah kejahatan? Menyapa hati, memilikinya, lalu melemparnya tanpa ampun.
Sesore inikah kau belum kembali? kapan kau mau menepati janji mengambilkan pelangi, apa tuan sudah lupa warna pelangi yg kau hafalkan?
Tuan, silakan dinikmati, secangkir teh rasa duka, racikan tuan sendiri.
Cerdik sekali tuan, dikau mendekati, mengungkapkan cinta, lalu pergi, setelah itu kembali untuk mengakui bukan aku yang kau cintai.
Haruskah aku berterima kasih pada tuan? karena kecerdikanmu itu aku bermetamorfosa menjadi orang yang tak percaya mahluk sejenis tuan.
Tuan, mestinya kau tahu saat kau akui tentang dia aku ingin menikammu, karena itu yang kurasakan, seperti mati.
Maaf, bukan mengungkit dongeng lalu, tapi ada rangkaian dongeng yang belum kau selesaikan, tuan.
Kesalahan tetap saja kesalahan, tak ada keindahan di dalamnya, kecuali jika senyum dan keikhlasan mengganti posisinya, begitu tuan?.
Tuan, haruskah aku meminta pada Tuhan agar kau sadari kemarin adalah sebuah kesalah besar tuan?
Tuan, haruskah kuberikan serbuk peri untukmu? agar tak ada penyihir yang mengubahmu menjadi jahat.

30 November 
semoga selamat sampai tujuan, tuan...
Selamat istirahat, tuan! semoga lelah hari ini terobati.
Tuan, mari kita berkomunikasi saja lewat aroma kopi yang kuhirup dan aroma dari secangkir teh di hadapanmu..
Tuan, mari berbincang lewat aroma kopi & aroma scangkir teh, semoga jarak antara Sukabumi dan Depok ini tak membuat kita menyalahkan rasa.
Tuan, Desember telah tiba tinggal menghitung hari dan pekan usia dongeng kita genap setahun ..
Tuan, bolehkah aku menyelinap masuk dalam bunga tidurmu? aku takut kau pergi dari dongeng ini..

1 Desember
Selamat sore, tuan! Aku menanti dikau pulang di beranda rumah, semoga teh yang akan kusajikan nnti mmpu melerai lelah yg menggelayut..
Tuan, mari kita berbincang sejenak, melepas gundah yang disebabkan oleh ketidakpastian.
Selamat pagi, tuan! semoga tak kutemukan gurat gundah di wajahmu pagi ini.
Tuan, aku tak akan berhenti menulis dongeng kita sebelum kau sadar telah menghapus semua warna pelangi.
Tuan, sudikah kau melukiskan warna pelangi yang dahulu kau hafalkan?.
Maaf, tuan. semalam pesanmu tak sempat kubaca, aku telah pergi ke dalam ruang yang dahulu kita tempati ..
Tuan, budaya dan suku kita sama, mestinya kau mengerti bahasa yang kuucapkan padamu.
Tuan, sejenak saja kita mesti berbincang mengenai secangkir teh dengan racikan luka dan coklat dengan campuran kekecewaan.

2 Desember
Hujan tiba tanpa ampun membasahi bumi, seperti puisi tuan yang tanpa ampun menghujani benakku...
3 kata bertuankan kita, masih mengendap dalam ruang yang kemarin kita tempati. Semoga tak menjadi parasit untuk menggapai mimpi kita, tuan.

8 Desember
Kita berpijak pada sebuah rasa bersalah,mungkin. Sbenarnya ingin kusampaikan pada tuan tentang benci, kecewa dn amarah yg tersirat dr lakuku.
Terima kasih telah mengenalkanku pada sebuah nama bernama kebohongan, tak perlu bicara dgn suara, lewat sorot mata pun dpt dimengerti, smoga.

10 Desember
Tak berharap menjadi dia, aku tetap aku, aku akan selalu menjadi aku.
Entahlah, aku juga tak tahu apakah aku sudah memaafkanmu atau belum..
Kita terperangkap dalam lingkar imaji. Semoga realita tak mati...

14 Desember
Sudah berapa orang yang kau janjikan pelangi, tuan?.
Kita masih disandera imaji, smoga logika tak mati. Aku rindu persahabatan lalu, bkn persahabatan yg mnjadi kaku.
Semoga tak ada yg hilang dari persahabatan kita, tuan ..

16 Desember
Mungkin kita hrs mengubah definisi cinta. Oke, dan aku bisa mengubah definisinya menjadi tak indah sprti luka, kecewa, benci dn hal spt tu.
Terima kasih kita masih hidup meski dalam imaji...


                                                                                                                     Twitt Castle, 2013

Rabu, Januari 08, 2014

AKU INGIN MEMBUNUHNYA, BOLEHKAH?



Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
Malam sebentar lagi merayap menghalau senja, puluhan burung gereja terbang rendah di atas atap rumah tetanggaku, mereka akan pulang, mungkin. Lelaki itu tegap berdiri memandangku, bola matanya yang coklat seolah menelusuri lorong bola mataku yang katanya hitam. Bibirnya yang mulai membiru bergerak seolah ingin berkata, tapi lima detik kutunggu tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Kamu kenapa?”
Tanyaku, aku melangkah mendekatinya dan memeluknya, aku ingin memeluknya sejak dia datang mengetuk pintu rumah.
“Re …”
Lirihnya, aku merasakan pelukannya, badannya dingin.
“Ayo ke dokter” ..
Air mataku menetes, samar kulihat Pusi si kucing anggora milikku menatap kami sendu. Malam beberapa detik lagi merayap menghalau senja,  masih di teras rumahku.
“Re, aku tak mau ke dokter”
Lirihnya lagi.
“Aku tak mau kamu sakit, Di”
Pelukanku semakin erat.
“Aku akan mati, Re”
Ujarnya, jantungku serasa berhenti begitu saja, awan yang dibawa malam pada senja seolah berhenti merayap untuk menyelimuti langit, angin senja perlahan meniup rambut panjangku, Pusi memejamkan mata menikmati hembusannya atau mungkin tak sanggup mendengar perkataan lelaki yang aku peluk.
“Tenang saja, Re, aku tak akan meninggalkanmu, meski aku telah mati kita bisa tetap bersama-sama”
“Bagaimana bisa?”
Perlahan aku melepas pelukanku, wajah pucatnya sekarang lebih baik karena senyumnya mengembang.
“Bisa, jika aku tak diajak ke dokter”
Lagi-lagi, Aldi –nama lengkapnya-- tak mau diajak ke dokter.
“Baiklah”
Aku membimbingnya masuk ke rumah, duduk di sofa.
“Jangan menangis lagi, Re”
Ah. Lagi-lagi dia melihat bulir air mataku yang jatuh.
“Aku ingin membunuhnya, bolehkah?”
Bisikku di telinganya.