Senin, September 14, 2015

Pernah Kita


Pernah kisah kita terangkum dalam aroma kopi, tumpukan buku, bait2 puisi dan jepretan kamera.

Pernah jua kita bercerita tentang angan2, kehidupan, dan cita2.

Ya, pernah.

Sabtu, Maret 07, 2015

PELANGI


Flash Fiction for #SatuKataIOC

Theme : Life
Oleh : Nadia Rahmatul Ummah

“Hujan!”
Teriakan seorang laki-laki mengagetkan seorang perempuan yang sedang serius memandangi langit dari jendela kamarnya.
Kamarnya yang hanya dipenuhi satu ranjang dan sebuah lemari plastik itu sepi, tak ada hiasan apapun, teramat sepi.
“Kania!” teriakan itu lagi, kali ini perempuan itu merasa terpanggil, “Kania, jemurannya nanti basah, angkatin sana!”
Perempuan bernama Kania itu beranjak malas dari duduknya, dengan wajahnya yang tampak berat meninggalkan jendela tempatnya memandangi langit.
“Kerja tuh yang cekatan dong!”
Kania tak menimpali perkataan laki-laki yang sedang ucang-ucang kaki di ruang keluarga, bibirnya yang menghitam menandakan ia seorang perokok berat, wajahnya tak lagi mencerminkan usianya yang masih muda.
Perempuan yang sangat suka memandangi langit itu melangkahkan kakinya ke belakang rumah tempat ia menjemur pakaian, tak ada sedikit pun rasa kesal juga senang saat laki-laki itu menyuruhnya mengerjakan sesuatu.
# # #
Pelangi-pelangi alangkah indahmu . . .
Lantunan syair lagu pelangi yang sering dinyanyikan olehnya sewaktu kecil benar-benar abadi sampai sekarang, gadis kecil berkuncir dua itu kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa.
Ya, dia Kania. Dengan polosnya ia pernah berteriak di depan kelas dan membuat semua temannya tertawa terbahak, geli.
“Aku ingin menjadi pelangi!”
Sekarang pun masih ingin menjadi pelangi, katanya pelangi itu memberi keindahan pada langit selepas gerimis. Tak sedikit orang-orang ingin melihat pelangi, maka ia pun ingin menjadi pelangi agar didamba, dinanti dan dipuja.
# # #
“Perempuan gila!”
“Perempuan aneh!”
“Perempuan pembual!”
Cerca-cerca itu memenuhi sudut langit tempatnya berdiri mematung, ia masih menunggu pelangi muncul, tak kenal hari dan musim, ia terus saja menatap langit dan bergumam.
“Duhai Tuhan, akankah aku menjadi pelangi seperti perempuan-perempuan lain?” Kania bergumam.
“Kamu akan menjelma menjadi pelangi, Kania!”
Suara menggema memenuhi ruang pendengarannya, walaupun menakutkan kalimat itu membawa kegembiraan bagi Kania. Dalam hatinya ia bersorak girang.
“Kania!”
Kali ini suara yang sangat ia kenal, teriakan suaminya, tampak laki-laki dengan sebatang rokok terselip di bibirnya datang tergopoh menghampiri.
“Ayo pulang!”
“Aku masih ingin menikmati langit, Mas, sebentar lagi aku akan menjadi pelangi, makanya aku harus menunggu Tuhan di sini”
Kania menimpali permintaan suaminya dengan wajah tidak terbebani, ia masih percaya dengan kata-kata almarhum ayahnya bahwa seorang perempuan yang hanya bisa mendidik anak-anaknya sekaligus bekerja membantu suaminya seperti jelmaan pelangi, makanya Kania ingin menjadi pelangi.
“Ayo, pulang!”
Kini suaminya menarik keras lengannya, memaksanya pulang, kembali ke rumah mereka. Dengan tanpa terbebani Kania menuruti kata suaminya.
Kania dan suaminya melangkah diikuti tatapan-tatapan aneh dari para tetangga yang kebetulan dan sengaja sedang di luar rumah menyaksikan adegan yang tiap hari mereka temui di sana.
# # #
Pelangi-pelangi ....
Lagi-lagi Kania melantunkan syair favoritnya, kini ia sedang menatap jendela yang dilengkapi oleh jeruji-jeruji besi, dari kejauhan suaminya menatap iba padanya, ada sesal dan sedih dalam lubuk hatinya, ia telah  memasukan istrinya ke tempat dimana berkeliaran orang-orang seperti istrinya, ada banyak perempuan dan laki-laki yang berseragam putih, para perawat.
Ya, suami Kania berharap Kania sembuh dari penyakit gilanya karena ditinggal sang Ayah, kehilangan anaknya dan juga kehilangan pekerjaannya. []

Minggu, Maret 01, 2015

MAAF, AKU MENCINTAINYA!


Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
            “Jahat!”
            “Aneh!”
            Umpatan-umpatan itu terus terngiang di telingaku, lama-lama aku bisa menjadi seperti yang mereka katakan, bisa gila, stress, dan aneh. Ah, atau memang aku ini aneh dan gila?.
            Jika saja aku tak melakukan itu mungkin tak akan ada umpatan yang merobek hati yang memang sudah koyak, seperti sepotong hatiku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku terlanjur melakukannya, sehingga membuat sebagian orang geram dan menganggapku aneh.
            Kemarin juga sama, aku mendapat sebuah tembakan dengan peluru telur dan tepung, padahal  bukan hari ulang tahunku. Maka di angkot aku menjadi pusat perhatian orang-orang, jilbab yang aku kenakan menebarkan bau amis telur.
            Ah, jika aku mengeluh aku akan semakin lelah menghadapi semua ini, sudah tri wulan ini aku mendapat perlakuan seperti itu. Entahlah, mungkin mereka benci padaku dan benci dengan apa yang aku lakukan.
            “Kamu baik-baik saja, kan?”
            Sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku, sejenak aku berpikir, rasanya aku ingin menjatuhkan genangan air mata yang belum jatuh menjadi bulir-bulir.
            “Aku baik-baik saja”
            Biasa, seperti kebanyakan perempuan, aku bilang aku baik-baik saja padahal aku tidak dalam keadaan baik. Siang tadi aku dibiarkan terkunci di gudang selama satu jam hingga ditolong oleh cleaning service di kampus.
            “Jangan bohong”
            Selalu, dia selalu tahu kalau aku berbohong. Itulah yang membuat aku bisa tahan bersamanya sampai sekarang, laki-laki itu pengganti kakakku, pengganti ayahku juga.
            Aku memasukan handphoneku ke dalam saku gamis, tak berniat membalas pesannya lagi, toh, dia sudah mengerti.
# # #
Kamu tahu kapan jadwal cinta berlabuh? Dimana cinta akan berlabuh?, jika aku tahu semuanya aku memilih untuk tak bersamanya selama bertahun-tahun ini. Apa kamu juga tahu istilah yang menyatakan kalau kebersamaan akan menghadirkan cinta?.
Ah, cinta itu terlalu liar bagiku, tak bisa dijinakkan bahkan sebelum ia mendekat kepadaku. Dan akhirnya aku jatuh cinta pada dia, laki-laki yang kulihat sangat baik, alim , dan berpengaruh baik di tempat belajarku dan di lingkungan rumah.
            “Kamu tahu? Sebenarnya aku menyukaimu”
            Deg, kata yang terlontar dari bibirnya membuatku berdiri mematung, saat itu aku hendak mengantarkan makan siang pesanannya.
            “Hah?”
            Sempat memerah pipiku, Tuhan, aku juga menyukainya, mencintainya, mungkin rasaku lebih besar dari rasanya. Tapi aku tak tahu bagaimana cara mewujudkan semua itu, apakah aku juga harus mengakuinya, sedangkan ….
            “Meli, aku menyukaimu, sebenarnya aku ingin …”
            Belum sempat laki-laki di hadapanku itu meneruskan kata-katanya, kuputuskan untuk pamit dan pergi dari tempat itu, aku takut.
# # #
Tertawa sajalah jika memang kalian merasa aku ini gila atau aneh. Tapi, seandainya kalian tahu, aku juga punya hati dan perasaan, aku punya rasa cinta dan aku juga pernah jatuh cinta sekali, dan saat inilah aku jatuh cinta.
            “Tak ada yang salah, Mel, cinta itu datang pada siapapun dan kapan pun, tergantung cara kita mengolahnya”
            Nasihat Ibuku membuatku bisa bernafas lega, sejenak mampu melepaskan kata-kata yang membelengguku.
            “Sebenarnya kamu jatuh cinta sama siapa, Mel? Ibu akan sangat senang sekali kalau dia juga suka sama kamu, Ibu ingin kamu cepat-cepat menikah”
            Mendengar perkataan Ibu, pipiku terasa hangat, sepertinya memerah. Ya, usiaku memang sudah cukup untuk menginjak pernikahan.
            “Bukan siapa-siapa, bu”
            Tuhan, sebenarnya aku ingin menceritakan ini semua pada Ibu, namun aku takut.
            Selama ini Ibu tak pernah tahu siapa yang dekat denganku, Ibu terlalu sibuk dengan home industrinya, dan aku tak cukup berani bercerita tentang asmara. Ibu kalah dengan teman-temanku yang lebih tahu tentang aku.
# # #
            Namaku Meli, aku seorang gadis yang sedang jatuh cinta, rasanya jatuh cinta itu ternyata begini, antara bahagia dan resah. Jatuh cinta itu fitrah seorang manusia, tapi kenapa kata orang jatuh cintaku tak wajar? Apa karena aku mencintai lelaki itu?.

Rabu, Februari 25, 2015

PESONA FAI

sumber gambar: google, anime

Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
“Whaa, unyu-unyu juga”
Della menjerit dengan tatapan gemas ke arah seorang laki-laki berseragam putih abu yang duduk di  bangku guru dengan laptop yang terbuka, ia sedang memperhatikan murid lain yang tengah presentasi di depan kelas. Untungnya jeritan Della tak terdengar oleh penghuni ruangan, apalagi si gadis yang suka banget sama permen lollipop ini menjerit dalam hati.
“Hai, kenalin, nama gue Della”
Seraya mengambil tempat duduk dan tersenyum kepada sosok berjilbab yang dikagetkan oleh kedatangan Della, seolah seperti melihat mahluk aneh dari planet yang belum terdeteksi oleh manusia.
“Namaku Arleta”
Si gadis berjilbab membalas senyum Della yang dengan pede-nya memakai rangkaian produk make-up ke sekolah, terlihat dari polesan bedak dan bibirnya yang merah serta pipinya yang merona. Bila diperhatikan satu persatu setiap murid yang hadir di kelas sepuluh SMA ini tak ada satu pun yang memakai make-up dan bergaya chibi-chibi seperti Della, setelan seragam putih abu yang dilengkapi dengan cardigan pink dan sepatu pink pula tampak meyakinkan bahwa Della seorang gadis yang centil.
“Maklum siswa pindahan”
“Ish, menor banget, sich”
“Lhaa, sepatunya kok pink? Kan sekolah kita peraturannya sepatu item”
Bisik-bisik tetangga mulai menggema, tapi Della tak peduli dengan semua itu, wong Della lagi memperhatikan wajah laki-laki yang dianggapnya unyu-unyu itu, kalau sudah begitu Della tak akan pernah peduli dengan lingkungan di sekitarnya.
“Della”
Si gadis berjilbab yang duduk di sebelahnya mencoba memulai pembicaraan.
“Ah, iya?”
Della sedikit kaget karena gadis itu bukan hanya memanggilnya tapi menepuk tangannya, ia menoleh ke arah gadis yang tengah tersenyum itu.
“Kamu pindahan dari mana?”
“Dari Bandung”
“Kenapa pindah?”
“Hmm…” Della berpikir sejenak “Gak betah”
“Oh” Arleta tersenyum “Mudah-mudahan disini kamu bisa betah”
“Semoga saja”
Arleta dan Della tertawa ringan, ada sedikit suasana kehangatan yang mulai menjalar di antara mereka.
“Kapan-kapan nanti kamu main ke rumahku, ya?! Disana ibuku buka salon khusus muslimah”
Arleta mulai bercerita.
“Benarkah?” mata Della berbinar, bisa ditebak satu kata yang membuat matanya bisa berbinar, salon.
            Arleta mengangguk mantap.
            “Wah, boleh tuh, gimana kalau besok?”
            “Oke, Della”
            Arleta mengacungkan jempolnya.
“Oh,ya, cowok yang di depan itu siapa namanya?”
Della menunjuk ke arah laki-laki yang sedari tadi ia perhatikan.
Arleta tersenyum “Oh, namanya Fairuz”
“Namanya indah banget …”
Della bergumam.
“Eh, iya. Kamu belum memperkenalkan diri ke teman-teman di kelas, maaf ya, guru kami sedang sakit, kalau ada guru biasanya beliau yang memperkenalkan siswa baru di kelas”
Ujar Arleta.
“Oh, gitu, gak apa-apa, kok!”
Della tersenyum, tapi matanya menatap lekat pada laki-laki yang bernama Fairuz.
“Abis presentasi di depan, kamu harus kenalin diri kamu di depan, ya?! Nanti aku bilang ke Fairuz”
“Hah? Fairuz?”
Kali ini Della menoleh ke arah Arleta.
“Iya, dia ketua kelas”
“Whaa, kereen!”
Della berseru dan Arleta hanya geleng-geleng kepala.
# # #
            Arleta menggenggam secarik kertas merah muda yang membuatnya bergidik dan menghilangkan senyum manisnya pagi itu, sekuntum mawar merah bertengger di dalam tasnya yang terbuka, dan ini yang ketiga kalinya, dari orang yang sama.
            “Ciee, Arleta dapat bunga”
            Della mengagetkan Arleta dari belakang.
            “Bukan apa-apa, Dell, Cuma bunga doang”
            “Masa sich?”
Tatapan Della menggoda dan menginterogasi, Arleta, gadis berjilbab itu salah tingkah dibuatnya.
“Itu ada ucapannya”

Sabtu, Januari 31, 2015

MANUSIA-MANUSIA PUKUL SEBELAS MALAM


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
Teng …!
Denting jam salendro terdengar nyaring, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Suaranya berpadu dengan irama air keran di kamar mandi, sudah menjadi kebiasaan, salah seorang penghuni mandi pada pukul setengah sebelas malam.
Tak jauh dari kamar mandi, di sebuah kamar tidur berisik suara radio yang diputar, tampak seorang gadis dengan rambut ikalnya yang tergerai sedang menantang monitor di depannya, jemarinya aktif menyentuh tuts keyboard. Matanya dibantu dengan sepasang kacamata minus.
“Aissh, hampir saja aku lupa” ia mengumpat dengan berbisik, mungkin ia salah ngetik atau lupa dengan ide  yang sedang ia kerjakan.
Tangannya kini meraih secangkir kopi yang sudah tak lagi mengepulkan asap panasnya, menyeruputnya tanpa memalingkan perhatian dari layar monitor. Kamar yang sedikit temaram membuat suasana kamar terasa dingin, ukuran kamar yang cukup luas buat satu orang. Ya, rumah itu luas, memiliki ruang santai, dapur, dua kamar mandi, dan tiga kamar tidur dengan penghuni tiga orang gadis.
Di antara mereka ada seorang gadis yang selalu penasaran dengan pukul sebelas malam, ia ingin sekali mengetahui kebenaran tentang pukul sebelas malam, maka setiap setengah jam sebelum pukul jam salendro membunyikan tanda pukul sebelas malam ia berusaha berpikir keras agar ia bisa memecahkan rasa penasarannya. Hampir setiap hari.
Malam itu si gadis yang penasaran dengan pukul sebelas malam mondar-mandir di ruang keluarga.
“Dis, lu kenapa mondar-mandir kayak gitu?”
Seorang gadis lainnya yang baru saja keluar dari kamar mandi keheranan melihat temannya mondar-mandir seperti sedang menunggu sesuatu dan sedang berfikir keras.
“Hmm?”
Si gadis yang merasa ditanya menanggapinya dengan gumaman kecil.
“Gak kenapa-kenapa kok Mel, aku lagi mikirin tugas aja”
Si gadis berbohong.
# # #
Namanya Gladis, si gadis yang penasaran dengan pukul sebelas malam. Selain Gladis, di rumah kontrakan itu tinggal dua orang gadis lainnya, Meli si tukang mandi di malam hari, dan Desi si tukang begadang berkacamata.
Ya, pukul sebelas malam, selalu sukses membuat gadis itu penasaran, sukses membuat gadis itu tak kunjung tidur karena memikirkan cara keluar rumah, ia selalu berpikir keras bagaimana caranya ia dapat melewati petugas keamanan di gerbang rumah kontrakan besar mereka, petugas keamanan yang sengaja disewa oleh pemilik rumah agar aman.
# # #
            “Sudah ibu bilang gak baik anak gadis keluar pukul sebelas malam”
            Pemilik rumah kontrakan itu menegaskan kembali setiap si gadis meminta izin untuk keluar pukul sebelas malam dengan alasan menherjakan tugas di kosan teman. Rupanya si wanita paruh baya pemilik kontrakan itu sudah mencium gelagat tidak beres pada si Gladis, pasalnya ini permintaan kesekian dengan alasan bermacam-macam.
            “Bu, kali ini saja, tugasnya harus dikumpulkan besok”
            Gladis memasang wajah memelas. Ia memanfaatkan suasana sore yang tenang untuk berbincang dengan pemilik rumah sekaligus meminta izin untuk keluar rumah pada pukul sebelas malam.
            “Hmm”
            Si pemilik kontrakan hanya bergumam.
            “Ya, sudah, kali ini saja ibu izinkan kamu keluar lebih dari pukul sebelas malam”
            Senyum Gladis tersungging, ia sudah berniat keluar rumah pukul setengah sebelas malam, berkeliling untuk mengobati rasa penasarannya. Ia akan mengajak Desi dan Meli untuk menunjukkan betapa menyenangkannya  di luar rumah sekitar pukul setengah sebelas malam lebih.
# # #
            “Selamat datang”
            Suara lembut pelayan restoran bergigi kelinci itu menyambut Gladis, Meli, dan Desi. Malam itu juga pukul sebelas malam mereka mengunjungi café yang sudah lama ingin mereka kunjungi di malam hari.

Jumat, Januari 30, 2015

INGIN KUSANDERA WAKTU

FANFICT
Zetsuen No Tempest 
Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
Cast : Mahiro Fuwa, Yoshino Takigawa, Aika (Zetsuen No Tempest)
Length : One Shoot
Genre : Tragedy, Fantasy, sedikit Angst
Rambutku teracak dikacau angin, hembusannya mengigilkan tubuhku. Di bawah sana deru kendaraan tak juga henti, kota ini seolah tak pernah mati bagai mesin dengan generator abadi. Terus menyala, tak pernah mati. Kebisingan Kota Tokyo tercipta dan tak pernah terhenti meskipun sudah larut malam.
Aku tahu, dari atas sana Tuhan memperhatikanku, memikirkan skenario apalagi yang akan aku perankan dalam hidup ini, sedramatis apa lagi yang akan Tuhan terapkan dalam alur kehidupanku ini, sudahlah! Aku sudah tak kuasa menjadi tokoh dalam cerita-Nya.
Langit hitam pekat diselimuti awan yang tak ingin mengalah memburu warna hitam langit, dari atas gedung ini langit seolah menantangku. Kerlip lampu dari bangunan-bangunan di kota ini tak membuat suasana berubah indah nan romantis, malah menyiratkan kata selamat tinggal padaku.
“Woi, sekarang aku yang akan membuat skenario hidupku sendiri!” aku berteriak menantang Tuhan, memecah hening malam, suasana tengah malam tak membuat suaraku terdengar oleh penghuni kota yang penuh dengan kehebatan teknologi ini.
Tak ada yang terjadi, langit masih diam membisu, malah angin yang berbisik mengelus wajah dan leherku.
Aku sudah menyerah dengan keadaanku, semua orang dalam kehidupanku sudah mati, aku harus mati juga menyusul mereka, menyusul Aika dan Orang Tuaku, sudah cukup mengerikan skenario hidupku ini, kisah cintaku yang kandas tak terselamatkan karena pengkhianatan, serta sejarah pendidikanku yang harus berakhir hari ini karena harus drop out dari kampus.
Sejak sekolah aku sudah ditinggal orang tuaku, aku tinggal bersama Aika, bukan adik kandungku dan satu lagi kenapa Yoshino harus ikut tinggal bersama kami? Padahal aku sudah cukup khawatir jika melihat Yoshino mendekati Aika waktu masih SMA.
Setelah kurasa sempurna kembali hidup bersama Aika, Tuhan mengambil Aika dari kehidupanku, dari kehidupan Yoshino juga. Seteahkematian Aika aku harus menelan kenyataan pahit bahwa Aika pernah bersama Yoshino. Saat mengetahui itu kepercayaanku pada Yoshino hancur, kehidupanku juga terasa hancur.
Kisah tragisku belum berakhir disana, aku harus drop out dari kampus karena ketahuan mengkonsumsi heroin, pengganti teman hidupku.
Tuhan tahu tentang kehidupanku, ya, karena Dia yang menulis skenario ini untukku, dan entah kenapa aku tergerak untuk memerankah tokoh yang paling malang dalam sekenario-Nya.
# # #
            Malam ini aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melompat dari gedung ini. Aku akan bunuh diri. Aku tahu, Dia sangat membenci orang yang bunuh diri dan aku dengan senang hati akan melakukannya untuk-Nya.
            Aku memanjat pembatas di tepi gedung, berdiri tegak. Terlihat dari tempatku berdiri sejumlah kendaraan yang merayap di atas jalan raya seperti barisan semut yang memiliki cahaya, aku merentangkan tanganku, wajahku menengadah menantang angin dan langit secara tak langsung menantang Tuhan.
Dalam hitungan detik aku akan menjadi potongan tubuh dengan simbahan darah dimana-mana, satu …dua…ti….