Minggu, Maret 01, 2015

MAAF, AKU MENCINTAINYA!


Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
            “Jahat!”
            “Aneh!”
            Umpatan-umpatan itu terus terngiang di telingaku, lama-lama aku bisa menjadi seperti yang mereka katakan, bisa gila, stress, dan aneh. Ah, atau memang aku ini aneh dan gila?.
            Jika saja aku tak melakukan itu mungkin tak akan ada umpatan yang merobek hati yang memang sudah koyak, seperti sepotong hatiku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku terlanjur melakukannya, sehingga membuat sebagian orang geram dan menganggapku aneh.
            Kemarin juga sama, aku mendapat sebuah tembakan dengan peluru telur dan tepung, padahal  bukan hari ulang tahunku. Maka di angkot aku menjadi pusat perhatian orang-orang, jilbab yang aku kenakan menebarkan bau amis telur.
            Ah, jika aku mengeluh aku akan semakin lelah menghadapi semua ini, sudah tri wulan ini aku mendapat perlakuan seperti itu. Entahlah, mungkin mereka benci padaku dan benci dengan apa yang aku lakukan.
            “Kamu baik-baik saja, kan?”
            Sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku, sejenak aku berpikir, rasanya aku ingin menjatuhkan genangan air mata yang belum jatuh menjadi bulir-bulir.
            “Aku baik-baik saja”
            Biasa, seperti kebanyakan perempuan, aku bilang aku baik-baik saja padahal aku tidak dalam keadaan baik. Siang tadi aku dibiarkan terkunci di gudang selama satu jam hingga ditolong oleh cleaning service di kampus.
            “Jangan bohong”
            Selalu, dia selalu tahu kalau aku berbohong. Itulah yang membuat aku bisa tahan bersamanya sampai sekarang, laki-laki itu pengganti kakakku, pengganti ayahku juga.
            Aku memasukan handphoneku ke dalam saku gamis, tak berniat membalas pesannya lagi, toh, dia sudah mengerti.
# # #
Kamu tahu kapan jadwal cinta berlabuh? Dimana cinta akan berlabuh?, jika aku tahu semuanya aku memilih untuk tak bersamanya selama bertahun-tahun ini. Apa kamu juga tahu istilah yang menyatakan kalau kebersamaan akan menghadirkan cinta?.
Ah, cinta itu terlalu liar bagiku, tak bisa dijinakkan bahkan sebelum ia mendekat kepadaku. Dan akhirnya aku jatuh cinta pada dia, laki-laki yang kulihat sangat baik, alim , dan berpengaruh baik di tempat belajarku dan di lingkungan rumah.
            “Kamu tahu? Sebenarnya aku menyukaimu”
            Deg, kata yang terlontar dari bibirnya membuatku berdiri mematung, saat itu aku hendak mengantarkan makan siang pesanannya.
            “Hah?”
            Sempat memerah pipiku, Tuhan, aku juga menyukainya, mencintainya, mungkin rasaku lebih besar dari rasanya. Tapi aku tak tahu bagaimana cara mewujudkan semua itu, apakah aku juga harus mengakuinya, sedangkan ….
            “Meli, aku menyukaimu, sebenarnya aku ingin …”
            Belum sempat laki-laki di hadapanku itu meneruskan kata-katanya, kuputuskan untuk pamit dan pergi dari tempat itu, aku takut.
# # #
Tertawa sajalah jika memang kalian merasa aku ini gila atau aneh. Tapi, seandainya kalian tahu, aku juga punya hati dan perasaan, aku punya rasa cinta dan aku juga pernah jatuh cinta sekali, dan saat inilah aku jatuh cinta.
            “Tak ada yang salah, Mel, cinta itu datang pada siapapun dan kapan pun, tergantung cara kita mengolahnya”
            Nasihat Ibuku membuatku bisa bernafas lega, sejenak mampu melepaskan kata-kata yang membelengguku.
            “Sebenarnya kamu jatuh cinta sama siapa, Mel? Ibu akan sangat senang sekali kalau dia juga suka sama kamu, Ibu ingin kamu cepat-cepat menikah”
            Mendengar perkataan Ibu, pipiku terasa hangat, sepertinya memerah. Ya, usiaku memang sudah cukup untuk menginjak pernikahan.
            “Bukan siapa-siapa, bu”
            Tuhan, sebenarnya aku ingin menceritakan ini semua pada Ibu, namun aku takut.
            Selama ini Ibu tak pernah tahu siapa yang dekat denganku, Ibu terlalu sibuk dengan home industrinya, dan aku tak cukup berani bercerita tentang asmara. Ibu kalah dengan teman-temanku yang lebih tahu tentang aku.
# # #
            Namaku Meli, aku seorang gadis yang sedang jatuh cinta, rasanya jatuh cinta itu ternyata begini, antara bahagia dan resah. Jatuh cinta itu fitrah seorang manusia, tapi kenapa kata orang jatuh cintaku tak wajar? Apa karena aku mencintai lelaki itu?.

            “Meli, kamu antarkan pesanan ini ke Mas Irwan, ya?!”
Ibu menyodorkan beberapa kotak kue basah, semalam Ibu dan aku menyiapkannya untuk acara syukuran di rumah Mas Irwan, lelaki yang kumaksud.
“Nanti Ibu nyusul, Ibu belum siap-siap, malu kan kalo ketemu Mas Irwan dan keluarganya dalam keadaan kaya gini”
Ibu kembali ke kamar dengan senyumannya.
Ah, Ibu wanita terbaik dalam hidupku, senyumannya mampu menentramkan hatiku, kalian pasti berpikir aku sedang gugup kali ini, ya, aku memang sedang gugup.
Aku melangkah ke pelataran rumah Mas Irwan yang sudah tampak ramai oleh beberapa orang, Mas Irwan rupanya mengundang banyak warga perumahan ini.
            “Assalamu’alaikum, Meli”
            Dari pintu Mas Irwan mengucap salam duluan. Kini dengan senyumannya dan tatapan matanya yang ingin berucap sesuatu.
Wa’alaikumsalam, Mas, ini pesanan kuenya”
Aku menyodorkan kotak-kotak kue padanya dengan menunduk, aku tak mau membalas tatapan matanya, aku tak sanggup, rasanya seperti berton-ton petasan meledak dalam dadaku jika aku terus menatapnya.
“Eh, iya, makasih, Mel”
“Sama-sama, Mas, sebelumnya aku minta maaf, aku dipanggil ke kampus oleh dosen pembimbing, aku harus ke kampus sekarang”
Aku mencari alasan agar aku tak berlama-lama di rumahnya meski sedang berlangsung acara dan aku sebagai undangannya juga.
“Bukannya kemarin kamu sudah ketemu dosen pembimbing?”
Mas Irwan menodongku, ah, ia tahu segala aktivitasku di kampus. Di samping teman satu kelas, dia juga teman diskusiku sebelumnya.
“Iya, tapi sekarang panggilan mendadak, Mas, Assalamu’alaikum
Aku perlahan meninggalkan pelataran rumah Mas Irwan.
Wa’alaikumsalam
“Siapa, Mas?”
Sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita melontarkan pertanyaan pada Mas Irwan.
“Meli”
“Lha, kenapa buru-buru pergi?”
Itu pasti Mbak Ratna. Ah, aku tak peduli, yang penting aku tak melihat Mas Irwan sekarang karena hatiku selalu tak karuan dIbuatnya.
# # #
Usiaku terpaut sepuluh tahun dengan Mas Irwan, Mas Irwan lebih tua dariku, usiaku 22 tahun.
“Meli, aku menaruh hati padamu, bagaimana perasaanmu padaku? Anggap saja aku masih sendiri”
Sore itu Mas Irwan bertandang ke rumahku, ia datang bersama Mbak Ratna. Mas Irwan mencuri pembicaraan saat Mbak Ratna dan Ibu sedang mengecek kue kering di dapur.
            “Aku tak bisa berandai-andai kalau Mas masih sendiri, aku tak bisa menutup mata dari kenyataan”
            Aku pun menurunkan volume suaraku, takut terdengar oleh Mbak Ratna dan Ibu.
            “Tapi setidaknya kamu jawab pertanyaanku, Mel, aku tahu kamu punya rasa yang sama. Kamu mencintaiku juga kan, Mel?”
            Suara Mas Irwan semakin meninggi.
            “Ja..jadi semua gossip itu benar, Mas?”
            Mbak Ratna!
            Mbak Ratna sudah berada di belakangku, aku tak berani menoleh kepadanya. Mungkin sekarang Mbak Ratna sudah berlinang air mata. Oh, Tuhan, aku melukai hati orang lain.
             Ibu menghampiriku dan memelukku, aku tahu Ibu tak kalah kaget mendengar semua ini.
            “Meli, apa yang kamu lakukan, mel? Anak Ibu tak boleh mengganggu rumah tangga orang lain”
            Ibu menciumi wajahku, air mata Ibu pun berlinang.
            Mas Irwan yang sedang duduk di depanku tampak tegang dan serba salah, ia tampak bingung, kepergok istrinya sedang mengucap cinta padaku.
Mbak Ratna, istri Mas Irwan sudah menangis di belakangku.
“Maaf, Mbak, aku juga mencintai Mas Irwan, aku mencintainya”
Aku menjawab lirih.
Mbak Ratna tiba-tiba memelukku, entah kenapa. Ya, Allah, aku telah menyakitinya, maafkan aku, tapi harus bagaimana lagi, aku semakin tak tenang jika tak kuucapkan yang sebenarnya.
Aku menatap Ibuku yang juga berlinang air mata, ia mencoba menenangkan Mbak Ratna.
“Maafkan anak Ibu, Ratna, Ibu tak bisa berbuat apa-apa, rasa cinta memang tak bisa dipaksa kabur darinya”
“Ratna, Meli, bu, maafkan aku juga”
Mas Irwan menunduk.
“Aku mencintai Ratna dan Meli, rasa cintaku pada Ratna tak pernah berkurang sampai saat ini, tapi Tuhan menumbuhkan rasa yang sama, aku mencintai Meli juga, sekarang aku lega sudah tahu perasaan Meli yang sebenarnya”
Sore itu merupakan sore yang membuatku semakin dianggap aneh dan gila oleh orang-orang jika orang lain mengetahuinya.
# # #
            “Meli, kamu mau kan nikah sama Mas Irwan?”
            Mbak Ratna meraih tanganku, ia tersenyum menatapku.
            Sebulan setelah pengakuan itu, Mbak Ratna datang ke rumahku, tentu saja dengan Mas Irwan.
            “Tapi, mbak, aku takut mbak semakin sakit”
            “Aku sudah meminta petunjuk sama Allah, Mel, aku sudah memikirkannya, inilah yang terbaik, aku ingin memberi hadiah terbaik buat Mas Irwan”
            Aku merasakan sesuatu seperti jatuh diantara jantungku, berdebum. Tuhan, begitu mulianya Mbak Ratna ini, sangat jauh dariku.
            “Ratna …”
            Ibu mengelus pundak Mbak Ratna, ada guratan sedih dan bahagia dalam raut wajahnya, sama seperti raut wajah Mbak Ratna.
            Rasaku kepada Mas Irwan tak pernah hilang dan pudar sama sekali.
            “Mbak, aku ingin mendampingi Mas Irwan bersama Mbak”
            Itulah keputusanku, aku melihat wajah Mbak Ratna, Ibu dan Mas Irwan, ada haru disana.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar