Senin, April 21, 2014

LELAKI YANG MENCINTAI REMBULAN


Picture By: Google


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
“Selamat sore!”
Angin menyapa saat aku melewati belakang rumah yang penuh ilalang,  hembusannya hampir memabukkanku seperti mabuknya ilalang yang disapa angin, bergoyang membentuk gelombang indah yang berirama.
“Bodoh, kenapa harus lewat belakang?” Tanya para ilalang mengejek, helai-helainya masih bergoyang mengikuti hembusan angin.
“Terserah aku, yang punya kaki kan aku sendiri, ini rumah juga rumah sendiri” aku menimpali perkataan ilalang.
“Jangan mengganggu si lelaki kita ini” sahut angin, membelaku.
“Ah, ya sudahlah jika itu maumu, aku hanya berpikir tak ada gunanya pintu depan dipasang jika tiap pulang manusia ini lewat belakang,” ilalang kembali berceloteh.
“Hmm” aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, aku capek, ingin sekali berbaring memanjakan diri di kasur atau sofa sambil menonton drama di televisi atau sambil membaca buku, ah, tapi sore ini aku akan memanjakan diriku dengan mendengarkan musik di balkon.
# # #
            “Aku merindukan rembulan hadir di sini,” langit malam berbicara padaku, wajahnya tak sedang ceria, kecuali jika rembulan ada.
            “Aku juga merindukannya,” sehelai daun anthorium menanggapi, anthorium yang selalu setia menemaniku menunggu rembulan di balkon rumah besar ini.
            “Akulah yang sangat merindukannya,” aku menatap sendu wajah langit malam tanpa berteman rembulan.
            “Alasanmu merindukannya?” Tanya langit malam penuh selidik.
            “Karena aku mencintainya.” Jawabku.
            “Kenapa mencintainya?” langit malam kembali bertanya.
            “Karena ia selalu menemaniku minum kopi disini, aku tak punya siapa-siapa selain rembulan,” aku tersenyum sambil membayangkan rembulan menerpa wajahku dengan cahaya lembutnya dengan mesra, itu yang selalu ia lakukan jika kami sedang bercengkarama, seperti sepasang kekasih.
            “Hanya karena itu?” langit malam bertanya lagi, penuh selidik, lagi.
            “Hmm... masih ada lagi, bukan hanya itu” sahutku.
            “Hei, tunggu, katamu kau tak punya siapa-siapa, terus aku ini kau anggap apa? Orang-orang di rumah ini kau anggap apa?” anthorium sedikit kesal, aku mengetahuinya dari nada bicaranya meskipun aku tak bisa melihat komat-kamit mulutnya yang sedang berbicara.
            “Kau temanku juga,” jawabku pendek, sebenarnya aku ingin tertawa mendengar pertanyaan, anthorium yang kurawat hingga ia bisa tumbuh bagus di dalam sebuah pot.
            “Kau cemburu, ya?” langit malam mengejek anthorium.
            “Tidak!” sanggah anthorium.
            “Ah, kau pasti cemburu,” lagi-lagi langit malam mengejeknya.
            “Tidak!”
            Aku hanya tertawa mendengar mereka bertengkar, mempermasalahkan cemburu. Cemburu? Aku juga pernah merasakannya. Sekitar tujuh tahun lalu, saat itu usiaku tepat 20 tahun.
            “Hei, lelaki! Bukankah tadi kau bilang bukan hanya itu alasannya, ada alasan lain kau mencintai rembulan, apa itu?” langit malam kembali ke perbincangan utama setelah puas mengejek anthoriumku.
            “Karena kau tiba hanya di waktu seperti ini, kau memang tidak pernah tahu alasannya aku mencintai rembulan”
            “Aku tak mengerti” sahut langit malam.. Anthorium hanya terdiam, ia sedikitnya tahu alasanku mencintai rembulan.
            “Kau tanyakan saja pada langit siang,”
            “Mustahil”
            “Sudahlah, sebentar lagi dini hari, kau akan segera dipanggil pulang, kan?!” aku mengingatkan langit malam.
            Jarum jam di ruang kamarku menunjukan pukul duabelas malam, aku bisa melihatnya dari balkon yang langsung terhubung dengan kamarku.
            Aku melangkah menuju kamar, membawa cangkir yang sebelumnya terisi penuh oleh moccacino.
            “Selamat beristirahat, lelaki!” ucap anthorium dan langit malam bersamaan.
# # #
            “Mari kita nikmati kebersamaan ini sebelum kita tak mampu melihat satu sama lain,” aku menengadahkan tangan ke langit, disana rembulan mengelus wajahku dengan cahayanya. Suasana balkon rumah besar ini tampak begitu mesra.
            “Jangan menakuti dia, rembulan terlalu rapuh untuh mendengar hal itu,” anthorium tiba-tiba menimpali perkataanku untuk rembulan.

            ‘Ah, mengganggu saja kau ini, aku tak menakutinya, aku hanya wanti-wanti,” aku berbisik di dekat anthorium.
            “Tak usah berbisik, aku mendengarnya,” rembulan menaggapi.
            Aish, rembulan mendengar pula.
            “Selama aku menunggumu, malam-malamku terasa hampa, sepi, tanpa ada yang menemaniku minum kopi dan berbincang,” aku bercerita pada rembulan dengan tampang senduku.
            “Ah, kau jangan mau dikibuli, rembulan!” sahut langit malam yang saat itu ceria.
            Rembulan hanya senyum, tersipu, dan aku sangat menyukai wajah tersipu rembulan, seperti tujuh tahun lalu saat aku mengatakan cemburu.
            “Ya, kau dikibuli, setiap tak ada dirimu, kita selalu menemaninya, mana mungkin dia kesepian,” anthorium satu kata dengan langit malam.
            Aku salah tingkah, ah, mereka mengacaukan semuanya, mengacaukan semua rayuanku.
            “Hmm … itu tidak benar, walau mereka menemaniku, tapi hatiku sepi tanpamu,” aku tak mau kalah.
            “Aku tahu, kau selalu mengucapkan itu setiap kali kita bertemu kembali,”
            Sungguh, rembulan mahluk paling bijaksana dan lembut, aku semakin mencintainya.
            “Hai rembulan, kau sudah tahu kenapa dia mencitaimu?” Langit malam mengungkit obrolan kami beberapa malam yang lalu.
            “Aku tahu” wajah rembulan semakin tersipu.
            Kalian tahu mahluk yang selalu jatuh cinta? Ya, aku berpendapat mahluk itu adalah rembulan, setiap ia tersenyum, setiap ia muncul, wajahnya selalu tersipu, seperti sedang jatuh cinta, kali ini rembulan jatuh cinta padaku, dan aku selalu berharap ia jatuh cinta padaku untuk selamanya, sama sepertiku aku jatuh cinta pada rembulan untuk selamanya.
            “Kau yakin?” sifat malam yang selalu menyelidik muncul kembali.
            “Aku yakin, dan aku mencintainya juga,” jawaban rembulan membuatku seperti melayang, menggapainya di langit.
            “Syukurlah, cintamu tak bertepuk sebelah tangan lelaki,” ujar langit.
            “Aku terharu,” anthorium berujar.
# # #
            “Bangunlah, sayang, bangun!” sebuah suara membangunkanku dari tidur yang tak disengaja, ya, semalam aku tertidur di kursi yang senagaja kutaruh di balkon.
            “Aish, kenapa setiap bangun aku selalu berhadapan denganmu?” aku menggerutu, aku tak pernah menyukai pemilik suara itu, mentari pagi dan sinarnya, aku benci dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.
            “Apa kau tak suka?” mentari seperti membaca pikiranku.
            “Aku hanya menyukai rembulan,” ucapku masih dengan kantuk, aku menggapai cangkir yang semalam kuisi dengan moccacino.
            Aku beranjak menuju kamar, meninggalkan tatapan mentari pagi dan anthorium. Aku disambut sebuah potret dia yang kusebut rembulan tergantung di dinding kamar.
Potret itu mengingatkanku pada tujuh tahun silam, saat itu aku di balkon bersama anthorium, langit siang, angin yang berhembus, dan secangkir moccacino serta dia yang kusebut rembulan.
Tujuh tahun lalu, saat itu aku berkata aku akan cemburu jika dia melupakanku karena kesibukannya.
“Sayang, aku tak akan melakukan itu karena aku benar-benar mencintaimu” ia meraih tanganku.
“Kenapa kau mencintaiku?”
“Aku mencintaimu tanpa alasan,”
“Tak ada alasan bagiku untuk mencintaimu juga,” aku tersenyum.
“Kecuali jika aku sudah tiada dan aku berubah menjadi rembulan, kau bisa mencintai wujud rembulanku,”
“Dengan alasan rembulan itu adalah kau, wanita yang kucintai, istriku”
Dia senyum, tersipu.
Tiga bulan setelah percakapan itu aku mendapat kabar tentang dia yang pergi dari dunia ini, kecelakaan lalu lintas pagi hari saat mentari menyinari bumi. Aku kehilangan dia, sangat kehilangan, aku hampir stress, kata orang-orang di rumah besar ini aku hampir bunuh diri. Setelah itu juga entah kenapa aku mampu mendengar suara langit, suara daun anthoriumku, suara angin, suara dedaunan, suara mentari. Sejak saat itu aku hanya mau berbincang dengan mereka, bukan dengan spesies homo sapiens—padahal aku juga homo sapiens—yang selalu mengataiku gila dan aneh.
“Kau harus minum obatmu, kawan! Aku tak mau kau dipanggil gila dan aneh oleh orang-orang!” Anthorium berteriak lantang dari balkon.
Aku membaringkan diri di kasur empuk, bersiap tidur kembali.
“Mama, shalat dhuha, yuk!” itu suara adik perempuanku yang masih duduk di SMA. Suaranya yang lantang seperti suara anthorium terdengar dari lantai bawah rumah besar ini.
“Shalat … “ lirihku “rasanya aku pernah melakukan hal itu, sudah berapa lama aku tak melaksanakannya?”
Samar-samar aku mendengar suara mobil ayahku meninggalkan rumah, pasti ia berangkat ke kantor. Ah, tumben aku peduli dengan semua suara orang-orang di sekelilingku? Hm, sudahlah aku masih ngantuk, semoga malam nanti aku bertemu rembulan kembali.[]

 Dipublikasikan juga di Jebolan SEBI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar