Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
Malam sebentar lagi
merayap menghalau senja, puluhan burung gereja terbang rendah di atas atap
rumah tetanggaku, mereka akan pulang, mungkin. Lelaki itu tegap berdiri
memandangku, bola matanya yang coklat seolah menelusuri lorong bola mataku yang
katanya hitam. Bibirnya yang mulai membiru bergerak seolah ingin berkata, tapi
lima detik kutunggu tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Kamu kenapa?”
Tanyaku, aku melangkah
mendekatinya dan memeluknya, aku ingin memeluknya sejak dia datang mengetuk
pintu rumah.
“Re …”
Lirihnya, aku merasakan
pelukannya, badannya dingin.
“Ayo ke dokter” ..
Air mataku menetes, samar
kulihat Pusi si kucing anggora milikku menatap kami sendu. Malam beberapa detik
lagi merayap menghalau senja, masih di
teras rumahku.
“Re, aku tak mau ke
dokter”
Lirihnya lagi.
“Aku tak mau kamu sakit,
Di”
Pelukanku semakin erat.
“Aku akan mati, Re”
Ujarnya, jantungku serasa
berhenti begitu saja, awan yang dibawa malam pada senja seolah berhenti merayap
untuk menyelimuti langit, angin senja perlahan meniup rambut panjangku, Pusi
memejamkan mata menikmati hembusannya atau mungkin tak sanggup mendengar
perkataan lelaki yang aku peluk.
“Tenang saja, Re, aku tak
akan meninggalkanmu, meski aku telah mati kita bisa tetap bersama-sama”
“Bagaimana bisa?”
Perlahan aku melepas
pelukanku, wajah pucatnya sekarang lebih baik karena senyumnya mengembang.
“Bisa, jika aku tak
diajak ke dokter”
Lagi-lagi, Aldi –nama
lengkapnya-- tak mau diajak ke dokter.
“Baiklah”
Aku membimbingnya masuk
ke rumah, duduk di sofa.
“Jangan menangis lagi,
Re”
Ah. Lagi-lagi dia melihat bulir air mataku yang jatuh.
“Aku ingin membunuhnya, bolehkah?”
Bisikku di telinganya.
Bisikku di telinganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar