Rabu, Januari 08, 2014

AKU INGIN MEMBUNUHNYA, BOLEHKAH?



Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
Malam sebentar lagi merayap menghalau senja, puluhan burung gereja terbang rendah di atas atap rumah tetanggaku, mereka akan pulang, mungkin. Lelaki itu tegap berdiri memandangku, bola matanya yang coklat seolah menelusuri lorong bola mataku yang katanya hitam. Bibirnya yang mulai membiru bergerak seolah ingin berkata, tapi lima detik kutunggu tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Kamu kenapa?”
Tanyaku, aku melangkah mendekatinya dan memeluknya, aku ingin memeluknya sejak dia datang mengetuk pintu rumah.
“Re …”
Lirihnya, aku merasakan pelukannya, badannya dingin.
“Ayo ke dokter” ..
Air mataku menetes, samar kulihat Pusi si kucing anggora milikku menatap kami sendu. Malam beberapa detik lagi merayap menghalau senja,  masih di teras rumahku.
“Re, aku tak mau ke dokter”
Lirihnya lagi.
“Aku tak mau kamu sakit, Di”
Pelukanku semakin erat.
“Aku akan mati, Re”
Ujarnya, jantungku serasa berhenti begitu saja, awan yang dibawa malam pada senja seolah berhenti merayap untuk menyelimuti langit, angin senja perlahan meniup rambut panjangku, Pusi memejamkan mata menikmati hembusannya atau mungkin tak sanggup mendengar perkataan lelaki yang aku peluk.
“Tenang saja, Re, aku tak akan meninggalkanmu, meski aku telah mati kita bisa tetap bersama-sama”
“Bagaimana bisa?”
Perlahan aku melepas pelukanku, wajah pucatnya sekarang lebih baik karena senyumnya mengembang.
“Bisa, jika aku tak diajak ke dokter”
Lagi-lagi, Aldi –nama lengkapnya-- tak mau diajak ke dokter.
“Baiklah”
Aku membimbingnya masuk ke rumah, duduk di sofa.
“Jangan menangis lagi, Re”
Ah. Lagi-lagi dia melihat bulir air mataku yang jatuh.
“Aku ingin membunuhnya, bolehkah?”
Bisikku di telinganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar