Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
“Jahat!”
“Aneh!”
Umpatan-umpatan itu terus terngiang
di telingaku, lama-lama aku bisa menjadi seperti yang mereka katakan, bisa
gila, stress, dan aneh. Ah, atau memang aku ini aneh dan gila?.
Jika saja aku tak melakukan itu
mungkin tak akan ada umpatan yang merobek hati yang memang sudah koyak, seperti
sepotong hatiku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku terlanjur melakukannya,
sehingga membuat sebagian orang geram dan menganggapku aneh.
Kemarin juga sama, aku mendapat
sebuah tembakan dengan peluru telur dan tepung, padahal bukan hari ulang tahunku. Maka di angkot aku
menjadi pusat perhatian orang-orang, jilbab yang aku kenakan menebarkan bau
amis telur.
Ah, jika aku mengeluh aku akan
semakin lelah menghadapi semua ini, sudah tri wulan ini aku mendapat perlakuan
seperti itu. Entahlah, mungkin mereka benci padaku dan benci dengan apa yang
aku lakukan.
“Kamu
baik-baik saja, kan?”
Sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku, sejenak aku berpikir,
rasanya aku ingin menjatuhkan genangan air mata yang belum jatuh menjadi
bulir-bulir.
“Aku
baik-baik saja”
Biasa, seperti kebanyakan perempuan,
aku bilang aku baik-baik saja padahal aku tidak dalam keadaan baik. Siang tadi
aku dibiarkan terkunci di gudang selama satu jam hingga ditolong oleh cleaning service di kampus.
“Jangan
bohong”
Selalu, dia selalu tahu kalau aku
berbohong. Itulah yang membuat aku bisa tahan bersamanya sampai sekarang,
laki-laki itu pengganti kakakku, pengganti ayahku juga.
Aku memasukan handphoneku ke dalam saku gamis, tak berniat membalas pesannya lagi, toh, dia sudah mengerti.
# # #
Kamu tahu kapan jadwal cinta berlabuh?
Dimana cinta akan berlabuh?, jika aku tahu semuanya aku memilih untuk tak
bersamanya selama bertahun-tahun ini. Apa kamu juga tahu istilah yang
menyatakan kalau kebersamaan akan menghadirkan cinta?.
Ah, cinta itu terlalu liar bagiku, tak
bisa dijinakkan bahkan sebelum ia mendekat kepadaku. Dan akhirnya aku jatuh
cinta pada dia, laki-laki yang kulihat sangat baik, alim , dan berpengaruh baik
di tempat belajarku dan di lingkungan rumah.
“Kamu tahu? Sebenarnya aku
menyukaimu”
Deg, kata yang terlontar dari
bibirnya membuatku berdiri mematung, saat itu aku hendak mengantarkan makan
siang pesanannya.
“Hah?”
Sempat memerah pipiku, Tuhan, aku juga menyukainya, mencintainya,
mungkin rasaku lebih besar dari rasanya. Tapi aku tak tahu bagaimana cara
mewujudkan semua itu, apakah aku juga harus mengakuinya, sedangkan ….
“Meli, aku menyukaimu, sebenarnya
aku ingin …”
Belum sempat laki-laki di hadapanku
itu meneruskan kata-katanya, kuputuskan untuk pamit dan pergi dari tempat itu,
aku takut.
# # #
Tertawa sajalah jika memang kalian merasa
aku ini gila atau aneh. Tapi, seandainya kalian tahu, aku juga punya hati dan perasaan,
aku punya rasa cinta dan aku juga pernah jatuh cinta sekali, dan saat inilah
aku jatuh cinta.
“Tak ada yang salah, Mel, cinta itu
datang pada siapapun dan kapan pun, tergantung cara kita mengolahnya”
Nasihat Ibuku membuatku bisa
bernafas lega, sejenak mampu melepaskan kata-kata yang membelengguku.
“Sebenarnya kamu jatuh cinta sama
siapa, Mel? Ibu akan sangat senang sekali kalau dia juga suka sama kamu, Ibu
ingin kamu cepat-cepat menikah”
Mendengar perkataan Ibu, pipiku
terasa hangat, sepertinya memerah. Ya, usiaku memang sudah cukup untuk
menginjak pernikahan.
“Bukan siapa-siapa, bu”
Tuhan,
sebenarnya aku ingin menceritakan ini semua pada Ibu, namun aku takut.
Selama ini Ibu tak pernah tahu siapa
yang dekat denganku, Ibu terlalu sibuk dengan home industrinya, dan aku tak cukup berani bercerita tentang
asmara. Ibu kalah dengan teman-temanku yang lebih tahu tentang aku.
# # #
Namaku Meli, aku seorang gadis yang
sedang jatuh cinta, rasanya jatuh cinta itu ternyata begini, antara bahagia dan
resah. Jatuh cinta itu fitrah seorang
manusia, tapi kenapa kata orang jatuh cintaku tak wajar? Apa karena aku
mencintai lelaki itu?.