Minggu, Maret 03, 2013

KOPI TERAKHIR DARIMU #Part 1

Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
“Nyeduh kopi lagi, Kei?”
Suara seseorang di ambang pintu dapur mengagetkanku yang sedang menyalakan kompor gas, aku membalikkan badan, mencoba memperhatikan sosok yang berdiri di sana. Lampu dapur yang redup membuatku tak sanggup mengenali wajah dan sosok tubuhnya yang hanya bayangan apalagi aku tak ditemani kacamata minusku, ah, mungkin Diana atau Elphina yang baru pulang dari kampus.
Suara sendok dan mug beradu merdu, menciptakan irama dalam benakku, ada nada dan cerita di dalamnya yang harus segera aku tuangkan dalam sebuah tulisan. Meski di luar hujan dan suara petir yang menggelegar tak mengubah melodi dalam benakku ini.
Kini mug cantik pemberian temanku, Dwi, khusus yang dibuat olehnya untukku telah terisi oleh kopi moccaccino yang selalu membuatku tergiur oleh aromanya. Mug hadiah ulang tahun ke-21 itu tersenyum padaku seperti potret dan hiasan pada mugnya.
“Assalamu’alaikum …”
Suara nyaring yang aku kenal kini mengubah suhu ruangan yang dingin menjadi hangat, Diana. Gadis remaja yang lembut asal Ranah Minang itu masuk rumah kontrakan kami yang terhitung paling besar di komplek Kampus ini.  Bisa ditebak ia masuk sambil tersenyum dan menggendong tas ranselnya di depan dada.
Wa’alaikumsalam, Diana …!”
Aku menyahut riang dari kamar, kebetulan kamarku dekat dengan pintu masuk kontrakan yang terlihat menyeramkan jika dilihat dari luar, hanya terlewati oleh satu kamar.
“Kei, sudah makan, belum?”
Selalu, ia akan mengajukan pertanyaan serupa jika ia pulang dan mendapatiku sedang memelototi laptop atau sedang menggoreskan pensil di atas sketch book.
“Sudah, Na” aku tersenyum, “sendirian?”
“Sama Elphina”
“Elphina? Bukannya …”
Ah, bukannya tadi Elphina ada disini bersamaku?, aku ingat sosok bayangan hitam yang berdiri di ambang pintu dapur, menemaniku menyeduh kopi.
“Kenapa, Kei?”
Elphina muncul dari belakang Diana, masih dengan seragam kampusnya yang hampir basah kuyup karena hujan di luar.
“Ah, El” aku mencoba menyembunyikan rasa heranku “aku kira kamu gak pergi ke kampus”
Elphina, gadis remaja berperawakan kecil seperti diriku asal Lampung itu geleng-geleng kepala.
“Aku dan Diana satu kelas, Kei” ujarnya “Kamu ini seperti orang pikun saja.
Aku tertawa disambung oleh derai tawa mereka, walau suasana menjadi hangat aku tak dapat mengubur rasa heranku bahkan sekarang menjadi rasa takut, aku ingat cerita pemilik kontrakan ini tentang mahluk halus berambut panjang yang menghuni kontrakan tempat aku, Elphina, Diana dan tujuh orang lainnya tinggal.
# # #
            “Kopinya enak, ya?”
            “Enak, apalagi yang cappuccino, El” aku menjawabnya tanpa menoleh ke sumber suara.
“Apa?”
“Ya, kopinya emang enak apalagi yang cappuccino”
“Aduh, Kei, kamu ngomong sama siapa sebenarnya?”
Aku menghentikan tarian jemariku di atas keyboard laptop, dan menoleh ke arah Elphina yang menghampiriku.
            “Lah, bukannya kamu tadi nanya tentang kopi yang aku minum ini” aku menunjuk mug cantik bergambar sebuah novel karya aku dan Dwi serta gambar kami yang berdiri manis sambil tersenyum.
            “Hmm”
            Elphina menggelengkan kepala, raut mukanya keheranan dan sedikit kekhawatiran.
            “Oia, cerpenku sudah mau selesai, nanti dibaca, ya?!”
            Kini Elphina menganggukkan kepalanya, lalu berdiri dan hendak meninggalkanku di kamar bercat ungu muda ini.
“Mau kemana, El?”
“Wudhu, mau shalat”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah jam analog di laptopku, jam 21.25. Aku belum shalat Isya.
“Kamu sudah shalat Isya?”
Aku menggeleng “nanti saja, tanggung, sebentar lagi selesai”
Aku kembali ke hadapan mesin uangku dan jemariku kembali menari di atas keyboardnya, suara ketikannya nyaring, tapi terdengar samar di telingaku karena earphone yang kupasang di telingaku sedang melantunkan lagu rocks, kencang.
Aku menyeruput cappuccinoku yang tinggal setengah dari mug cantik, sensasinya kembali menjalar ke badanku, pandanganku mulai sedikit kabur, kepalaku terasa sedikit pening dan jantungku kembali berpacu lebih cepat dari sebelumnya, luapan ide-ideku kembali ingin dimuntahkan, aku terus mengetik, menyajikan tarian indah.
Kopi, minuman favoritku selain teh yang kutemui di beberapa restorant Jepang di daerahku. Moccaccino, espresso, cappuccino dan coffee latte adalah daftar kopi yang sering aku pesan jika berkunjung ke Café Orange di food hall plaza.  Cappuccino, ia teman terbaik, dengannya aku dapat merangkai kata-kata, seperti dua tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku kelas sastra di SMA-ku. Espresso, walau pahit harus tetap kunikmati, karena dari sana aku dapat megerti hidup ini memang banyak pahitnya. Moccaccino dan coffee latte, ah yang ini sangat memuakkan coffee latte yang terlalu manis bagiku membuatku tak ingin mempercayai lagi sosok laki-laki yang pernah memberiku buket bunga mawar merah dan boneka beruang besar setahun lalu, tapi aku tak boleh membenci coffee latte dan moccaccinonya, terlalu kejam.
            Tik … tik … tik … suara jarum jam dinding di luar kamarku, tepatnya di ruang televisi mengisi malam yang sepi, dan jam analogku menampilkan angka 23.30. Kopi cappuccinoku telah habis. Aku bergegas ke dapur membawa mug kosongku.
“Mau nyeduh kopi lagi?”
“Ya, naskahku belum selesai, takut ketiduran” aku menjawab suara dari kamar kami, aku dan Elphina.
“Kenapa kamu bangun jam segini? Belum ngerjain tugas, ya?”
Lima detik, tak ada jawaban dari kamar, ah, pasti Elphina hanya terbangun sebentar.
Aku jadi teringat, aku belum shalat Isya. Ah, tapi nanti saja, kan masih ada waktu.
“Kopinya enak, ya?”
“Enak, El”
Aku menoleh ke belakang, mencari sosok Elphina yang baru saja berdiri di ambang pintu dapur yang lampunya redup.
“El?”
Bayangan itu lagi, bukan Elphina atau Diana, postur tubuh mereka tak setinggi itu, dan rambutnya tak sepanjang bayangan itu.
“Oh, kenapa kamu belum tidur?”
Suara tawa nyaring menyambut pertanyaanku yang mencoba menghalau rasa takut. Suara sendok dan mug berbunyi nyaring, di luar tak ada suara jatuhnya air hujan, yang ada hanya suara langkah-langkah kaki petugas ronda menyatu dengan irama mug dan sendok serta detakan jantungku yang berpacu cepat.
Bersambung ke Part 2 .... ^ ^

4 komentar:

  1. nath cerita nya keren alur yg km buat, yosh..! berhasil membuat aku merinding dan membayangkan layout kostanmu, jd ingin kisah denger murotal di malam hari:(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beuh,segitu seramkah kostanku di matamu, wi? ,, mkasih, mug dr km lah yg mnemani aku nulis naskah tiap mlm.

      Hapus
    2. kakak........ikut nyepam ya...wakakakak
      ayo....jadikan artikelku no 1 dengan cra visit link ini -> http://ayunurafifah.blogspot.com/2013/03/kartunet-kampanye-aksesibilitas-tanpa.html
      Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas

      Hapus
  2. *ralat jadi inget kisah mu yg sambil dengerin murotal di dini hari:)

    BalasHapus