Minggu, September 16, 2012

SECANGKIR MOCACINNO, STICK DRUM DAN JILBAB MERAH


Oleh: Nadia Rahmatul Ummah

Juara 1 Lomba Cerpen Jilbab Pertamaku STEI SEBI
 
                        “Bagaimana penampilanku?” Aku memutar badanku bak seorang peragawati di depan teman-teman.
                        Shofi, Anggi, Astri, dan Jelly tampak geleng-geleng kepala sambil berdecak kagum, selalu begitu, setiap aku meminta pendapat mereka dalam mengenakan pakaian atau gaya rambut baru mereka akan terpana seolah tersihir dengan hasil make overku. Meskipun aku bukan gadis yang bertubuh tinggi, langsing,dan cantik tapi aku bisa berpenampilan mengesankan dengan pakaian yang melekat di tubuh kecilku ini.
                        “Keren, Nad!” Jelly berseru seraya bangkit dari duduknya, cowok berperawakan tinggi besar itu memperhatikanku dengan rok payung selutut bercorak polkadot kecil dan baju lengan pendek yang kupadukan dengan jas Korea yang kubeli di sebuah Mall di Tasikmalaya.
                        “Nadia cute!” Astri memegang pipinya sendiri tanda ia gemas melihatku, biasanya Astri menilainya dari rambutku, kali ini rambutku yang panjangnya sebatas pinggang kubiarkan tergerai menampakkan bergelombangnya rambut hitamku, hanya dihiasi sebuah kupluk yang berwarna senada dengan jas yang kukenakan, merah.
                        “Benarkah?” aku ingin memastikan sekali lagi bahwa penampilanku sempurna. Keempat temanku mengangguk-anggukan kepala mereka.
                        Pagi ini, di hari Minggu aku dan keempat temanku berkumpul di kamar Shofi untuk mempersiapkan diri karena siang harinya kami akan menghadiri undangan manggung dari sebuah Cafe milik guru Tata Hidang kami di Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata. Undangan manggung ini sangat istimewa bagi band lokal atau band indie seperti kami karena tak jarang ada produser musik yang menjadi pelanggan di Cafe itu, Nah, siapa tahu kami dapat tawaran rekaman.
                        Cukup lama kami mematut diri di depan cermin, tak terkecuali Jelly yang selalu mengutamakan penampilannya, hari ini dia memakai baju kaos warna putih yang dipadukan dengan rompi hitam dan celana levis warna hitam juga, sederhana namun fashionable. Anggi, gadis bertubuh montok itu memakai celana jeans biru dan baju kaos lengan panjang berwarna pink lembut, rambut lurusnya dikucir di belakang. Shofi dan Astri mereka memakai baju dengan tema sama, jeans biru dan kemeja kotak-kotak.
                        Setelah sekian lama mengurus penampilan kami berangkat ke Cafe Arts dengan jalan kaki, karena lokasinya memang dekat dengan rumah Shofi yang berada di komplek asrama Polisi atau yang biasa kami sebut Aspol. Cafe Arts, sebuah cafe bertema Eropa Continental itu tampak ramai dengan para pengunjung dan pelanggan.
                        Ini pertama kali kami manggung di Cafe Arts, membawakan sebuah lagu berjudul I’m Falling In Love milik J-Rocks, sebuah band bergaya Harajuku. Aku tampil sebagai drummer dengan stick drum kesayanganku, Shofi dengan alunan pianonya, Anggi memegang bas, Astri memainkan gitar dan Jelly tampil memukau dengan vokalnya. Itulah kami, D’licious Band.
# # #
                        Aku melangkahkan kakiku ke kantin sekolah, baru saja beberapa langkah mendekati stand minuman.
                        “Bruk!”
                     
   “Innalillahi” orang yang tabrakan denganku mengaduh pelan, cangkir yang berisi mocacinno yang dipegangnya tumpah, isinya mengotori syal merahku.
                        Tampak wajah cowok di hadapanku memerah karena malu dan rasa bersalahnya.
                        “Aduh, syalku jadi kotor” aku mengeluh sambil melepas syal dari leherku.
                        “Astaghfirulloh, ma’af ya, Nad” Kak Sony yang juga partner kerjaku di ekskul Pramuka meminta ma’af tanpa memandang ke arahku, cowok alim berperawakan tinggi besar itu hanya menundukkan wajahnya.
                        Kak Sony, seorang cowok yang dianggap aneh oleh teman-teman bandku karena sikapnya yang tak pernah mau dekat-dekat dengan lawan jenis, tak mau salaman dengan lawan jenis, padahal banyak cewek yang suka sama Kak Sony karena wajah ganteng dan pintarnya. Aku sudah tak asing lagi dengan sikap semacam itu karena di lingkungan rumahku memang bernuansa Islami, Ummi –- panggilanku kepada ibu—memakai jilbab yang lebar, dan Abi dikenal sebagai seorang Ustadz. Dan aku?.
                        “Kakak ini gimana, sih?” aku memasang wajah geram di depannya.
                        “Ma’af, nanti aku ganti syalnya” wajah bersalahnya semakin kelihatan.
                        “Hmm, ya sudah, ganti sekarang”
                        Kak Sony tampak sedang berpikir sejenak dalam hitungan detik ia memintaku untuk mengikutinya keluar kantin dan masuk ke sanggar tata busana di samping kantin, di sekolah kami ada dua jurusan diantaranya jurusan Restoran yang aku geluti dan jurusan Tata Busana yang memiliki sanggar busana yang menyediakan berbagai macam pakaian.
                        Setiba disana Kak Sony membeli syal berwarna merah marun untuk dia berikan kepadaku, tapi tak ada syal seperti punyaku. Akhirnya dia memberiku sehelai kain segi empat berwarna merah marun padaku, walau aku tak mau menerimanya, aku menghargai usahanya untuk mengganti syalku.
                        “Jilbab ini juga bisa kamu pakai sebagai syal, kan?” ujarnya.
                        Aku hanya menganggukkan kepala.
                        “Fungsinya jadi double, kau bisa pakai itu sebagai jilbab atau sebagai syal.”
                        Memakai jilbab, aku masih asing untuk memakainya. Perkataan Kak Sony tadi mengingatkanku pada permintaan Ummi dan Abi, masih masalah pemakaian jilbab, aku diminta untuk memakai jilbab agar aku tak membuat malu mereka.
                        Setelah kejadian itu aku mulai berpikir dan mempersiapkan diri menghadapi waktu yang tepat untuk memakai jilbab dengan berbagai resiko yang tentunya akan aku temui nanti.
# # #
                        Aku mematut diri di depan cermin, mencoba memakai sehelai kain bernama jilbab di kepalaku, aku sudah tahu cara memakai jilbab segi empat seperti ini karena aku sering memperhatikan Ummi berdandan dengan jilbabnya.
                        “Ah.. kenapa gak dari dulu saja kau pakai jilbab, Nad” aku berkata pada diri sendiri, “hmm, bagus juga” aku memuji diriku sendiri sambil memperhatikan pantulan diriku di cermin dengan jilbab merah yang kukenakan.
                        Jilbab merah pemberian dari Kak Sony itu menjadi inspirasiku untuk berubah, aku ingin membuat orangtua bahagia dan tak malu lagi memiliki anak sepertiku. Kini tinggal menunggu hari esok.
# # #
                        “Kamu beneran mau pakai jilbab?” tanya Jelly keheranan, begitu juga Shofi, Astri dan Anggi yang tampak kaget.
                        “Band kita gimana?” Astri.
                        “Karir kamu gimana?” Anggi juga mengingatkan aku pada keinginanku bekerja di Pelayaran. Kami masih duduk di bangku kelas 2 SMK Pariwisata namun kami sudah memiliki target.
                        “Ya, kalau itu sudah menjadi keputusan yang sudah benar-benar kamu pertimbangkan apa salahnya kamu pakai jilbab” Shofi mendukung keputusanku.
                        “Hah?” Astri menanggapi perkataan Shofi dengan mimik wajah yang lebih terkejut.
                        “Meskipun pakai jilbab, Nadia masih bisa main band.”
                        “Yang penting itu kemampuan aku di band, bukan masalah aku pakai jilbabnya” aku ikut membela diriku sendiri.
                        Jelly, Astri dan Anggi masih belum bisa menerima keputusanku, ah,tidak apa-apa aku dikeluarkan dari Band, yang penting aku pakai jilbab. Atas permintaan Ummi dan Abi juga keinginan kuatku untuk memakai sehelai kain di kepala ini membuat aku tak perduli dengan karir dan impianku untuk menjadi drummer hebat.
                        Suasana menjadi hening, tapi dalam jiwaku ada sesuatu yang sedang bergejolak hebat, antara rasa bersalah karena takut membuat band yang kami rintis menjadi berantakan dan rasa ingin melihat senyuman bahagia dari orangtua saat melihatku mengenakan jilbab.
                        “Ok, kalau itu keputusanmu kamu tak usah ikut kita latihan band lagi, kita akan cari drummer baru” Jelly mengungkapkan keputusannya yang membuatku ingin menangis sejadi-jadinya, walau aku sudah mempersiapkan diri dari beberapa hari yang lalu agar siap menerima keputusan ini, tapi itu tak berjalan dengan mulus, aku terlanjur mencintai band yang sudah menemani perjalanan hidupku selama dua tahun ini.
                        Astri, Anggi, dan Shofi tak bisa berbuat apa-apa lagi jika Jelly sang vokalis sudah memutuskan seperti itu.
                        Sore hari yang sebenarnya berhawa sejuk menjadi terasa panas saat itu.
# # #
                        Nadia Rahmatul Ummah, itu adalah nama yang sengaja diberikan oleh kedua orangtuaku agar aku bisa menjadi seorang penyeru yang memberikan kasih sayang kepada ummatnya, dan tanpa sadar selama ini aku telah menyia-nyiakan itu semua dengan kelakuanku, penampilanku, sikap dan juga sifatku yang masih tak ingin tahu apa itu mentoring, mengkaji al-Qur’an, bahkan memakai jilbab di kepala pun tak aku lakukan.
                        Kini aku baru menyadari betapa  pentingnya sebuah jilbab bagi seorang wanita muslimah, dengan jilbab aku bisa terbebas dari pelototan mata para lelaki, terhindar dari debu dan panas, dengan jilbab aku bisa menjaga diriku, bukan hanya itu dengan jilbab pula aku bisa mengenal sebuah forum kepenulisan yang akhirnya melahirkan karya-karya terbaikku untuk masyarakat.
                        Meski begitu, tak selamanya memakai jilbab itu mulus-mulus saja, ada godaan dan cobaan yang menghadang, seperti waktu kelas 3 SMK, aku ikut terpilih menjadi peserta training kerja di sebuah restoran internasional ternama di daerahku, Restoran China. Karena waktu itu langsung praktek di sebuah pesta pernikahan orang China kami diharuskan tidak memakai jilbab untuk menjadi seorang pelayan tapi aku tak mau melepas jilbabku demi menjadi seorang pelayan, dan balasannya aku ditempatkan di belakang sebagai dishwasher atau pencuci piring, tak hanya aku saja, ada dua orang temanku yang juga nasibnya sama sepertiku. Itulah cobaan yang membuatku kuat kali ini.
                        Tak jauh sebelum itu, aku mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan lenganku cedera dan divonis tak bisa main drum lagi. Aku tak perlu sedih karena itu, Tuhan telah menggantikannya dengan yang lebih baik, aku bisa menulis dan menerbitkan beberapa buku sampai saat ini.
                        Ah, hanya bermula dari secangkir mocacinno yang tumpah mengotori syalku dan keikhlasanku meninggalkan band serta stick drum mengantarkanku pada sehelai jilbab merah, jilbab pertamaku.[]
Depok, 15 September 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar