Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
Juara 1 Lomba Cerpen Jilbab Pertamaku STEI SEBI
Juara 1 Lomba Cerpen Jilbab Pertamaku STEI SEBI
“Bagaimana
penampilanku?” Aku memutar badanku bak seorang peragawati di depan teman-teman.
Shofi, Anggi, Astri, dan
Jelly tampak geleng-geleng kepala sambil berdecak kagum, selalu begitu, setiap
aku meminta pendapat mereka dalam mengenakan pakaian atau gaya rambut baru
mereka akan terpana seolah tersihir dengan hasil make overku. Meskipun
aku bukan gadis yang bertubuh tinggi, langsing,dan cantik tapi aku bisa
berpenampilan mengesankan dengan pakaian yang melekat di tubuh kecilku ini.
“Keren, Nad!” Jelly
berseru seraya bangkit dari duduknya, cowok berperawakan tinggi besar itu memperhatikanku
dengan rok payung selutut bercorak polkadot kecil dan baju lengan pendek yang
kupadukan dengan jas Korea yang kubeli di sebuah Mall di Tasikmalaya.
“Nadia cute!”
Astri memegang pipinya sendiri tanda ia gemas melihatku, biasanya Astri
menilainya dari rambutku, kali ini rambutku yang panjangnya sebatas pinggang
kubiarkan tergerai menampakkan bergelombangnya rambut hitamku, hanya dihiasi
sebuah kupluk yang berwarna senada dengan jas yang kukenakan, merah.
“Benarkah?” aku ingin
memastikan sekali lagi bahwa penampilanku sempurna. Keempat temanku
mengangguk-anggukan kepala mereka.
Pagi ini, di hari Minggu
aku dan keempat temanku berkumpul di kamar Shofi untuk mempersiapkan diri
karena siang harinya kami akan menghadiri undangan manggung dari sebuah Cafe
milik guru Tata Hidang kami di Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata. Undangan
manggung ini sangat istimewa bagi band lokal atau band indie seperti kami
karena tak jarang ada produser musik yang menjadi pelanggan di Cafe itu, Nah,
siapa tahu kami dapat tawaran rekaman.
Cukup lama kami mematut
diri di depan cermin, tak terkecuali Jelly yang selalu mengutamakan
penampilannya, hari ini dia memakai baju kaos warna putih yang dipadukan dengan
rompi hitam dan celana levis warna hitam juga, sederhana namun fashionable.
Anggi, gadis bertubuh montok itu memakai celana jeans biru dan baju kaos lengan
panjang berwarna pink lembut, rambut lurusnya dikucir di belakang. Shofi
dan Astri mereka memakai baju dengan tema sama, jeans biru dan kemeja
kotak-kotak.
Setelah sekian lama
mengurus penampilan kami berangkat ke Cafe Arts dengan jalan kaki, karena
lokasinya memang dekat dengan rumah Shofi yang berada di komplek asrama Polisi
atau yang biasa kami sebut Aspol. Cafe Arts, sebuah cafe bertema Eropa
Continental itu tampak ramai dengan para pengunjung dan pelanggan.
Ini pertama kali kami
manggung di Cafe Arts, membawakan sebuah lagu berjudul I’m Falling In Love
milik J-Rocks, sebuah band bergaya Harajuku. Aku tampil sebagai drummer
dengan stick drum kesayanganku, Shofi dengan alunan pianonya, Anggi memegang
bas, Astri memainkan gitar dan Jelly tampil memukau dengan vokalnya. Itulah
kami, D’licious Band.
# # #
Aku melangkahkan kakiku
ke kantin sekolah, baru saja beberapa langkah mendekati stand minuman.
“Bruk!”
Tampak wajah cowok di
hadapanku memerah karena malu dan rasa bersalahnya.
“Aduh, syalku jadi
kotor” aku mengeluh sambil melepas syal dari leherku.
“Astaghfirulloh, ma’af
ya, Nad” Kak Sony yang juga partner kerjaku di ekskul Pramuka meminta
ma’af tanpa memandang ke arahku, cowok alim berperawakan tinggi besar itu hanya
menundukkan wajahnya.
Kak Sony, seorang cowok
yang dianggap aneh oleh teman-teman bandku karena sikapnya yang tak pernah mau
dekat-dekat dengan lawan jenis, tak mau salaman dengan lawan jenis, padahal
banyak cewek yang suka sama Kak Sony karena wajah ganteng dan pintarnya. Aku
sudah tak asing lagi dengan sikap semacam itu karena di lingkungan rumahku
memang bernuansa Islami, Ummi –- panggilanku kepada ibu—memakai jilbab yang
lebar, dan Abi dikenal sebagai seorang Ustadz. Dan aku?.
“Kakak ini gimana, sih?”
aku memasang wajah geram di depannya.
“Ma’af, nanti aku ganti
syalnya” wajah bersalahnya semakin kelihatan.
“Hmm, ya sudah, ganti
sekarang”
Kak Sony tampak sedang
berpikir sejenak dalam hitungan detik ia memintaku untuk mengikutinya keluar
kantin dan masuk ke sanggar tata busana di samping kantin, di sekolah kami ada
dua jurusan diantaranya jurusan Restoran yang aku geluti dan jurusan Tata
Busana yang memiliki sanggar busana yang menyediakan berbagai macam pakaian.
Setiba disana Kak Sony
membeli syal berwarna merah marun untuk dia berikan kepadaku, tapi tak ada syal
seperti punyaku. Akhirnya dia memberiku sehelai kain segi empat berwarna merah
marun padaku, walau aku tak mau menerimanya, aku menghargai usahanya untuk
mengganti syalku.
“Jilbab ini juga bisa
kamu pakai sebagai syal, kan?” ujarnya.
Aku hanya menganggukkan
kepala.
“Fungsinya jadi double,
kau bisa pakai itu sebagai jilbab atau sebagai syal.”
Memakai jilbab, aku
masih asing untuk memakainya. Perkataan Kak Sony tadi mengingatkanku pada
permintaan Ummi dan Abi, masih masalah pemakaian jilbab, aku diminta untuk
memakai jilbab agar aku tak membuat malu mereka.
Setelah kejadian itu aku
mulai berpikir dan mempersiapkan diri menghadapi waktu yang tepat untuk memakai
jilbab dengan berbagai resiko yang tentunya akan aku temui nanti.
# # #
Aku mematut diri di
depan cermin, mencoba memakai sehelai kain bernama jilbab di kepalaku, aku
sudah tahu cara memakai jilbab segi empat seperti ini karena aku sering
memperhatikan Ummi berdandan dengan jilbabnya.
“Ah.. kenapa gak dari
dulu saja kau pakai jilbab, Nad” aku berkata pada diri sendiri, “hmm, bagus
juga” aku memuji diriku sendiri sambil memperhatikan pantulan diriku di cermin dengan
jilbab merah yang kukenakan.
Jilbab merah pemberian
dari Kak Sony itu menjadi inspirasiku untuk berubah, aku ingin membuat orangtua
bahagia dan tak malu lagi memiliki anak sepertiku. Kini tinggal menunggu hari
esok.
# # #
“Kamu beneran mau pakai
jilbab?” tanya Jelly keheranan, begitu juga Shofi, Astri dan Anggi yang tampak
kaget.
“Band kita gimana?”
Astri.
“Karir kamu gimana?”
Anggi juga mengingatkan aku pada keinginanku bekerja di Pelayaran. Kami masih
duduk di bangku kelas 2 SMK Pariwisata namun kami sudah memiliki target.
“Ya, kalau itu sudah
menjadi keputusan yang sudah benar-benar kamu pertimbangkan apa salahnya kamu
pakai jilbab” Shofi mendukung keputusanku.
“Hah?” Astri menanggapi
perkataan Shofi dengan mimik wajah yang lebih terkejut.
“Meskipun pakai jilbab,
Nadia masih bisa main band.”
“Yang penting itu
kemampuan aku di band, bukan masalah aku pakai jilbabnya” aku ikut membela
diriku sendiri.
Jelly, Astri dan Anggi
masih belum bisa menerima keputusanku, ah,tidak apa-apa aku dikeluarkan dari
Band, yang penting aku pakai jilbab. Atas permintaan Ummi dan Abi juga
keinginan kuatku untuk memakai sehelai kain di kepala ini membuat aku tak
perduli dengan karir dan impianku untuk menjadi drummer hebat.
Suasana menjadi hening,
tapi dalam jiwaku ada sesuatu yang sedang bergejolak hebat, antara rasa
bersalah karena takut membuat band yang kami rintis menjadi berantakan dan rasa
ingin melihat senyuman bahagia dari orangtua saat melihatku mengenakan jilbab.
“Ok, kalau itu
keputusanmu kamu tak usah ikut kita latihan band lagi, kita akan cari drummer
baru” Jelly mengungkapkan keputusannya yang membuatku ingin menangis
sejadi-jadinya, walau aku sudah mempersiapkan diri dari beberapa hari yang lalu
agar siap menerima keputusan ini, tapi itu tak berjalan dengan mulus, aku terlanjur
mencintai band yang sudah menemani perjalanan hidupku selama dua tahun ini.
Astri, Anggi, dan Shofi
tak bisa berbuat apa-apa lagi jika Jelly sang vokalis sudah memutuskan seperti
itu.
Sore hari yang
sebenarnya berhawa sejuk menjadi terasa panas saat itu.
# # #
Nadia Rahmatul Ummah,
itu adalah nama yang sengaja diberikan oleh kedua orangtuaku agar aku bisa
menjadi seorang penyeru yang memberikan kasih sayang kepada ummatnya, dan tanpa
sadar selama ini aku telah menyia-nyiakan itu semua dengan kelakuanku,
penampilanku, sikap dan juga sifatku yang masih tak ingin tahu apa itu mentoring,
mengkaji al-Qur’an, bahkan memakai jilbab di kepala pun tak aku lakukan.
Kini aku baru menyadari
betapa pentingnya sebuah jilbab bagi
seorang wanita muslimah, dengan jilbab aku bisa terbebas dari pelototan mata
para lelaki, terhindar dari debu dan panas, dengan jilbab aku bisa menjaga
diriku, bukan hanya itu dengan jilbab pula aku bisa mengenal sebuah forum kepenulisan
yang akhirnya melahirkan karya-karya terbaikku untuk masyarakat.
Meski begitu, tak
selamanya memakai jilbab itu mulus-mulus saja, ada godaan dan cobaan yang
menghadang, seperti waktu kelas 3 SMK, aku ikut terpilih menjadi peserta training
kerja di sebuah restoran internasional ternama di daerahku, Restoran China.
Karena waktu itu langsung praktek di sebuah pesta pernikahan orang China kami
diharuskan tidak memakai jilbab untuk menjadi seorang pelayan tapi aku tak mau
melepas jilbabku demi menjadi seorang pelayan, dan balasannya aku ditempatkan
di belakang sebagai dishwasher atau pencuci piring, tak hanya aku saja,
ada dua orang temanku yang juga nasibnya sama sepertiku. Itulah cobaan yang
membuatku kuat kali ini.
Tak jauh sebelum itu,
aku mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan lenganku cedera dan divonis tak
bisa main drum lagi. Aku tak perlu sedih karena itu, Tuhan telah
menggantikannya dengan yang lebih baik, aku bisa menulis dan menerbitkan
beberapa buku sampai saat ini.
Ah, hanya bermula dari
secangkir mocacinno yang tumpah mengotori syalku dan keikhlasanku meninggalkan
band serta stick drum mengantarkanku pada sehelai jilbab merah, jilbab
pertamaku.[]
Depok, 15 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar