Flash Fiction
for #SatuKataIOC
Theme : Life
Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
“Hujan!”
Teriakan seorang laki-laki
mengagetkan seorang perempuan yang sedang serius memandangi langit dari jendela
kamarnya.
Kamarnya yang hanya dipenuhi satu
ranjang dan sebuah lemari plastik itu sepi, tak ada hiasan apapun, teramat
sepi.
“Kania!” teriakan itu lagi, kali
ini perempuan itu merasa terpanggil, “Kania, jemurannya nanti basah, angkatin
sana!”
Perempuan bernama Kania itu
beranjak malas dari duduknya, dengan wajahnya yang tampak berat meninggalkan
jendela tempatnya memandangi langit.
“Kerja tuh yang cekatan dong!”
Kania tak menimpali perkataan
laki-laki yang sedang ucang-ucang kaki di ruang keluarga, bibirnya yang
menghitam menandakan ia seorang perokok berat, wajahnya tak lagi mencerminkan
usianya yang masih muda.
Perempuan yang sangat suka
memandangi langit itu melangkahkan kakinya ke belakang rumah tempat ia menjemur
pakaian, tak ada sedikit pun rasa kesal juga senang saat laki-laki itu
menyuruhnya mengerjakan sesuatu.
# # #
Pelangi-pelangi
alangkah indahmu . . .
Lantunan syair lagu pelangi yang
sering dinyanyikan olehnya sewaktu kecil benar-benar abadi sampai sekarang,
gadis kecil berkuncir dua itu kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa.
Ya, dia Kania. Dengan polosnya ia
pernah berteriak di depan kelas dan membuat semua temannya tertawa terbahak,
geli.
“Aku ingin menjadi pelangi!”
Sekarang pun masih ingin menjadi
pelangi, katanya pelangi itu memberi keindahan pada langit selepas gerimis. Tak
sedikit orang-orang ingin melihat pelangi, maka ia pun ingin menjadi pelangi
agar didamba, dinanti dan dipuja.
# # #
“Perempuan gila!”
“Perempuan aneh!”
“Perempuan pembual!”
Cerca-cerca itu memenuhi sudut
langit tempatnya berdiri mematung, ia masih menunggu pelangi muncul, tak kenal
hari dan musim, ia terus saja menatap langit dan bergumam.
“Duhai Tuhan, akankah aku menjadi
pelangi seperti perempuan-perempuan lain?” Kania bergumam.
“Kamu
akan menjelma menjadi pelangi, Kania!”
Suara menggema memenuhi ruang
pendengarannya, walaupun menakutkan kalimat itu membawa kegembiraan bagi Kania.
Dalam hatinya ia bersorak girang.
“Kania!”
Kali ini suara yang sangat ia
kenal, teriakan suaminya, tampak laki-laki dengan sebatang rokok terselip di
bibirnya datang tergopoh menghampiri.
“Ayo pulang!”
“Aku masih ingin menikmati langit,
Mas, sebentar lagi aku akan menjadi pelangi, makanya aku harus menunggu Tuhan
di sini”
Kania menimpali permintaan suaminya
dengan wajah tidak terbebani, ia masih percaya dengan kata-kata almarhum ayahnya
bahwa seorang perempuan yang hanya bisa mendidik anak-anaknya sekaligus bekerja
membantu suaminya seperti jelmaan pelangi, makanya Kania ingin menjadi pelangi.
“Ayo, pulang!”
Kini suaminya menarik keras
lengannya, memaksanya pulang, kembali ke rumah mereka. Dengan tanpa terbebani Kania menuruti kata suaminya.
Kania dan suaminya melangkah diikuti tatapan-tatapan aneh dari para tetangga yang kebetulan dan sengaja sedang di luar rumah menyaksikan adegan yang tiap hari mereka temui di sana.
# # #
Pelangi-pelangi ....
Lagi-lagi Kania melantunkan syair favoritnya, kini ia sedang menatap jendela yang dilengkapi oleh jeruji-jeruji besi, dari kejauhan suaminya menatap iba padanya, ada sesal dan sedih dalam lubuk hatinya, ia telah memasukan istrinya ke tempat dimana berkeliaran orang-orang seperti istrinya, ada banyak perempuan dan laki-laki yang berseragam putih, para perawat.
Ya, suami Kania berharap Kania sembuh dari penyakit gilanya karena ditinggal sang Ayah, kehilangan anaknya dan juga kehilangan pekerjaannya. []