Minggu, September 22, 2013

AKU INGIN ALEXANDRIA


Ini adalah sebuah cerpen hasil perpaduan dua cerpen dan dua ide yang berbeda, dari cerpen "Ujang Ke Alexandria" karya Bang Nadash dan cerpen "Catatan Harian si Penggila Mimpi" karya Nadia, saya sendiri. Selamat Membaca:



AKU INGIN ALEXANDRIA
Oleh: Bang Nadash & Nadia Rahmatul Ummah
Bandung, 21 September 2013         
 “Plaak…!”
            “Aww”
            Aku meringis, dengan spontan tanganku meraba pipi kiri yang telah menjadi korban sebuah tamparan kasar dari tangan seorang laki-laki bertubuh kekar, untuk kesekian kalinya tamparan itu dihadiahkan oleh dia yang katanya menyayangiku. Tapi kenapa menamparku?.
            Aku melihat sepasang bola mata yang seolah menyampaikan pesan bahwa aku lah yang bersalah dan pemilik bola mata itu tak suka dengan apa yang telah kulakukan, tapi apa kesalahan yang telah kulakukan?.
            “Abah sudah mendengar laporan dari Kang Deni tentang kamu, An!”
            Abah, laki-laki yang hampir berumur lima puluh tahun itu meninggikan suaranya, beruntung sekali saat suaranya yang menggelegar keluar saat itu pula jam salendro di kamarku berdentang nyaring empat kali, sehingga tak akan tertangkap oleh telinga Emak yang sedang memasak makanan untuk makan malam di dapur, kalau saja Emak tahu ia pasti berlari ke kamarku mencari tahu apa yang terjadi.
            “Kang Deni? Tentang apa, Bah?”
            Tanyaku takut-takut dan pura-pura tak tahu. Tadi siang aku tak memperhatikan Kang Deni yang sedang menjelaskan pelajaran Tata Hidang di restoran sekolah, bukan hanya siang tadi, tapi kemarin dan kemarinnya lagi aku tak tertarik untuk mempelajarinya padahal pelajarannya akan muncul di ujian kompetensi beberapa bulan yang akan datang, aku lebih tertarik dengan kompetisi menulis di sebuah perusahaan travel yang hadiahnya jalan-jalan ke Alexandria!.
            “Sudahlah, Abah tahu kamu mengerti masalah ini, Abah bisa baca apa yang ada di pikiranmu sekarang”
Begitulah Abah, orang yang darahnya mengalir dalam tubuhku itu memang selalu tahu apa yang ada dalam benakku. Samar aku mendengar tarikan nafas Abah seperti mencoba mengeluarkan beban pikiran, ia masih memakai pakaian kerjanya, kaos bergambar logo sebuah partai politik yang sudah mulai pudar warnanya dan celana pendek di bawah lutut yang juga tampak kotor oleh percikan lumpur sawah, Abah bekerja sebagai seorang buruh tani.
“Ma’af, Bah!”
Aku menunduk, aku tak sanggup menatap wajahnya, dan aku juga tak sanggup mengatakan pada Abah kalau aku tak menyukai sekolahku yang satu ini, sekolah pariwisata. Abah lah yang mendaftarkanku ke sekolah pariwisata itu karena Abah menginginkan anaknya bekerja di pelayaran, kata Kang Deni—tetangga sekaligus guru di sekolahku—bekerja menjadi koki atau pun pelayan di sebuah kapal pesiar gajinya besar dibandingkan bekerja di restoran di darat.
“Abah tak mau mendengar kamu seperti itu lagi dari Kang Deni”
Hhh, aku benci Kang Deni, kenapa ia selalu melaporkan semua kelakuanku pada Abah? Seperti mata-mata saja.
Abah hanya bisa menyekolahkan aku di sana, sekolah yang lain sangatlah mahal dan tak sanggup untuk keluarga kami yang hanya keluarga buruh tani.
“Baik, Bah”
Aku tak biasa berbicara dan mengobrol banyak dengan Abah, makanya aku hanya bisa mengatakan “baik”, aku belum bisa mengatakan keinginanku ikut kompetisi itu. Tak sanggup berhadapan dengan sikap Abah yang selalu keras.
Ah, aku harus menyelesaikan novelku, deadline lombanya tiga bulan lagi dan akan diumumkan satu bulan setelah itu. Aku melirik Abah yang hendak beranjak dari kamarku. Sebenarnya aku ingin Abah mengetahui juga aku sedang menulis sebuah novel tentangnya untuk dilombakan, dalam benakku sudah terbayang-bayang bagaimana indahnya Alexandria dengan Qait Bay Citadel dan Bibliotheca Alexandria-nya.
# # #
Bandung, 21 Januari 2014
            “Bersabarlah, An, ini sudah takdir, Allah lebih mencintai Abahmu”
Kang Deni duduk di sampingku juga mengelus pundakku mencoba menegarkan, pemakaman sudah tampak lenggang setelah beberapa menit yang lalu para pelayat mengantar kami bersama jasad Abah ke sini.
Emak tampak masih terisak di hadapan pusara Abah, matanya menyiratkan sangat kehilangan dengan kepergian sosok laki-laki yang sangat dicintainya, aku kasihan melihat Emak seperti itu, sekarang aku menjadi tulang punggung keluarga ini karena hanya aku anak Abah dan Emak.
“Mak, masih mau di sini atau pulang sekarang?”
Tanya kang Deni. Emak mengangguk pelan lalu berdiri.
“Kita pulang saja, Kang, ada yang harus Emak sampaikan pada kalian”
Ujar Emak. Aku mengernyitkan dahi, mungkinkah pesan dari Abah yang tak sempat Abah sampaikan padaku , tapi apa hubungannya dengan Kang Deni?.
            “Baiklah, ayo kita pulang, An”
            Abah pergi beberapa jam yang lalu saat aku berlari-lari girang ingin menyampaikan kabar gembira pada Abah dan Emak tentang kemenanganku dalam kompetesi menulis, meski aku tak memenangkan juara pertama yang artinya aku tidak berhasil mendapatkan tiket jalan-jalan ke Alexandria aku tetap bahagia karena novelku yang sengaja aku persembahkan untuk Abah mendapat juara ke tiga.
            “Andri, anakku, Emak ingin menyampaikan ini padamu, ini dari Abah, nak”
            Emak menyodorkan sebuah kotak berwarna hitam dengan corak keemasan. Sudah mirip kucing lapar yang melihat tulang ikan, aku tak sabar dengan isi kotak dari Abah, ternyata isi kotak itu selembar peta dunia, sebuah buku berjudul Alexandria dan sepucuk surat. Ya Allah, dari mana Abah dapat uang buat beli buku ini?.
Nak, Abah pamit duluan bukan karena Abah tak cinta,
namun apa daya dunia seolah belum tepat untuk kita rajut bersama.
Insya Allah kita bersua kembali di hijaunya taman syurga.
Abah menantimu nak bersama Emakmu.
Abah kasih kamu selembar peta dan buku Alexandria,
Abah mau kamu hidup bukan hanya untuk dirimu sendiri,
tapi masih banyak orang lain yang harus kamu perhatikan.
Dunia ini menantimu nak, Abah yakin kamu bisa menanam benih dimanapun,
seperti peta ini, kamu lihat dunia dalam sebutir bola mata, kejarlah Alexandriamu…!
Abah sudah tahu keinginanmu jalan-jalan ke Alexandria, Abah sudah tahu buku apa yang sedang kamu tulis, An. Terima kasih, nak, Abah minta maaf jika Abah sering menamparmu”

Surat itu seolah mengoyak hatiku dan Emak, air mataku tak terbendung deras mengalir. Emak memeluku erat. Aku merasa ada sakit yang dalam yang tak ku sadar. Hatiku teriak!, Abah seolah bicara di depan kami. Aku hanya bisa tertunduk terpejam.
“An, kamu harus mendapat nilai bagus di uji kompetensi kali ini, Kang Deni yakin kamu bisa, jika lulus kamu bisa langsung bekerja di kapal pesiar milik teman saya, kapalnya suka berlayar ke luar negeri”
Kang Deni baik, tak seperti yang kupikirkan beberapa waktu lalu. Aku pamit untuk menuju kamarku setelah mengiyakan pernyataan Kang Deni.
Aku tempelkan peta dan surat itu ditembok kamarku yang agak lusuh. Foto Abah aku tempel juga disampingnya. Tatapan tajamku pada foto Abah seperti elang yang siap menerkam ular.
“Abah, aku janji aku akan keliling dunia, untuk wujudkan cita-citamu”
Tanganku mengepal kuat, selanjutnya telunjuku menunjuk mesir,
“Alexandria, aku datang!”
# # #
Bandung, 21 Mei 2014
Mataku bolak balik ke kanan dan ke kiri seperti bocah yang kebingungan mencari alamat. Telunjukku ikut menyisir mading, tapi nama Andri tak kunjung aku temukan.
“Gimana An, hasil ujiannya?”
Kang Deni datang dan merangkul pundakku.
“Iya nih Kang, kok namaku belum ketemu, ya?!”
Aku bingung dan khawatir takut tak lulus.
Saat itu aku hanya memperhatikan barisan nama siswa yang ada di absen belakang. Karena aku merasa tidak mungkin aku mendapatkan nilai yang sejajar dengan orang-orang yang selalu juara kelas.
Kang Deni juga ikut mencari namaku, kaget ternyata nama “ANDRI” berada di posisi teratas dengan nilai paling bagus.
“Selamat, kamu layak mendapatkan tiket ke Alexandria!”
Ujar Kang Deni seraya menyalamiku. Rupanya Kang Deni sudah tahu hal ini.
“Kamu juara umum, An”
“Masa?, gak mungkin, ah”
Aku pun melihat sendiri, lembar kertas teratas itu dengan 30 baris nama siswa-siswi kelas tiga, di angka satu ternyata nama “ANDRI”. Aku pun bingung, ragaku seperti tertimpa sekarung beban. Berat! Kakiku mulai lemas, tubuhku ringkih. Aku terjatuh tersungkur “Ya Allah, terima kasih” seketika airmataku berlinang tak tertahan. “Abah, aku juara umum” gumamku dalam hati.
Mulutku tak henti-hentinya mengucapkan hamdalah. Seketika teman-temanku mengucapkan selamat, guru-guru juga demikian. Aku sempat tidak percaya, karena dikelas nilaiku standar saja.
Aku pun pulang untuk sampaikan kabar gembira ini ke Emak.
“Mak… Mak… dimana? Aku pulang, Mak!”
Siang itu rumah terasa kosong, Emak tak jawab salam ku. Aku kira Emak sedang keluar belanja untuk makan sore ini.
Akan tetapi saat aku kekamar Emak, ternyata Emak sedang terbaring di tempat tidur. “Oh, Emak disini! Mak, Andri ada kabar baik, aku juara umum, Mak, aku bisa pergi ke Alexandria”
Emak tak kunjung menjawab ucapanku, ia tetap menutup matanya. Perasaanku mulai tak enak, aku tidak biarkan pikiranku terlalu jauh pada Emak. Mungkin Emak sedang kecapean. Aku coba bangunkan Emak dengan mengusik tangan Emak
“Mak.. aku semakin keras mengusik bahunya. Aku terdiam, tubuhku terjatuh dengan muka tertelungkup pada tangan Emak.
Lambat laun air mataku keluar, “tidak mungkin…tidak mungkin Emak!!!” aku mencoba melawan diriku, menggelengkan kepala.
“Emak… bangun, Andri pulang. Mak!”
Tak ada sahutan dan desahan nafas dari Emak. Emak pergi menyusul Abah.
# # #
Alexandria, 21 September 2015
Chef Andri …!”
Seseorang memanggilku dari kejauhan, seorang laki-laki berperawakan tinggi besar berlari kecil menghampiriku, seragam putih kapten kapal yang membungkus tubuhnya membuatnya semakin gagah, sosoknya mengingatkanku pada Abah. Sudah sepuluh bulan aku berlayar akhirnya kapal kami berlabuh di Alexandria.
“Ya, Pak!”
Aku menyahut sambil melambaikan tangan.
“Ke sini, pak, pemandangan sekitar benteng ini indah”
Ia berlari sambil menenteng kamera DSLR-nya, disusul beberapa awak kapal dan dan cook helper kami serta beberapa pelayan, rupanya mereka ingin sekali berfoto bersama dengan keindahan pemandangan di sekitar benteng  Qait yang terletak di tepi laut Mediterania ini.
 Menurut sejarah benteng ini dibangun oleh Sultan dari dinasti Mamluk, yaitu Sultan Al Ashraf An Nashr Syaifudin Qaitbay pada tahun 1423 M. Fungsinya untuk menahan serangan yang selalu datang hendak mencaplok Mesir.
“Hmm ….”
Aku menghirup dalam-dalam udara Mesir, berkelebat bayangan Abah, Emak dan Kang Deni.
“Aku ingin Alexandria, Abah, aku sudah di Alexandria, Mak” gumamku “Terima kasih, Kang Deni, aku muridmu yang hebat, kan?! Aku sudah menjadi koki di kapal pesiar milik temanmu”
“Besok kita ke perpustakaannya, kita masih punya waktu di sini sekitar dua pekan, jangan sia-siakan waktu kalian di Alexandria!”
Sahut si Kapten kapal yang tampak bersemangat, aku baru mengetahui tiga hari yang lalu, ia sangat ingin mengunjungi Alexandria dikarenakan ia sangat penasaran dengan keindahan Alexandria yang sering dibicarakan oleh orang dan ditulis dalam beberapa buku.
“Siap, Kapten!”
Sahut yang lain berbarengan, mereka pun tampak bergembira mendengar rencana kaptennya, biasanya kami hanya singgah selama satu pekan.
“Aku ingin Alexandria”
Tiba-tiba seseorang  di sampingku berujar, pelan namun masih terdengar olehku. Salah seorang pelayan di kapal kami, ia mengatupkan dua belah telapak tangannya sambil memejamkan mata.
“Ini sudah di Alexandria, Bang!”
Wajahnya memerah, malu.
“Maksud saya, saya ingin istri saya ada di sini juga suatu saat nanti bersama saya, nama istri saya Alexandria”
Ia nyengir.
“Ooh, amin”
Aku mengaminkan doanya.
“Aku juga ingin Alexandria”
“Hah?”
“Ya, aku ingin tetap di Alexandria”.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar