Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
“Nyeduh
kopi lagi, Kei?”
Suara
seseorang di ambang pintu dapur mengagetkanku yang sedang menyalakan kompor
gas, aku membalikkan badan, mencoba memperhatikan sosok yang berdiri di sana.
Lampu dapur yang redup membuatku tak sanggup mengenali wajah dan sosok tubuhnya
yang hanya bayangan apalagi aku tak ditemani kacamata minusku, ah, mungkin Diana
atau Elphina yang baru pulang dari kampus.
Suara
sendok dan mug beradu merdu, menciptakan irama dalam benakku, ada nada dan
cerita di dalamnya yang harus segera aku tuangkan dalam sebuah tulisan. Meski
di luar hujan dan suara petir yang menggelegar tak mengubah melodi dalam
benakku ini.
Kini
mug cantik pemberian temanku, Dwi, khusus yang dibuat olehnya untukku telah
terisi oleh kopi moccaccino yang selalu membuatku tergiur oleh aromanya. Mug
hadiah ulang tahun ke-21 itu tersenyum padaku seperti potret dan hiasan pada
mugnya.
“Assalamu’alaikum …”
Suara
nyaring yang aku kenal kini mengubah suhu ruangan yang dingin menjadi hangat,
Diana. Gadis remaja yang lembut asal Ranah Minang itu masuk rumah kontrakan
kami yang terhitung paling besar di komplek Kampus ini. Bisa ditebak ia masuk sambil tersenyum dan
menggendong tas ranselnya di depan dada.
“Wa’alaikumsalam, Diana …!”
Aku
menyahut riang dari kamar, kebetulan kamarku dekat dengan pintu masuk kontrakan
yang terlihat menyeramkan jika dilihat dari luar, hanya terlewati oleh satu
kamar.
“Kei,
sudah makan, belum?”
Selalu,
ia akan mengajukan pertanyaan serupa jika ia pulang dan mendapatiku sedang
memelototi laptop atau sedang menggoreskan pensil di atas sketch book.
“Sudah,
Na” aku tersenyum, “sendirian?”
“Sama
Elphina”
“Elphina?
Bukannya …”
Ah, bukannya tadi
Elphina ada disini bersamaku?, aku ingat sosok
bayangan hitam yang berdiri di ambang pintu dapur, menemaniku menyeduh kopi.
“Kenapa,
Kei?”
Elphina
muncul dari belakang Diana, masih dengan seragam kampusnya yang hampir basah
kuyup karena hujan di luar.
“Ah,
El” aku mencoba menyembunyikan rasa heranku “aku kira kamu gak pergi ke kampus”
Elphina,
gadis remaja berperawakan kecil seperti diriku asal Lampung itu geleng-geleng
kepala.
“Aku
dan Diana satu kelas, Kei” ujarnya “Kamu ini seperti orang pikun saja.
Aku
tertawa disambung oleh derai tawa mereka, walau suasana menjadi hangat aku tak
dapat mengubur rasa heranku bahkan sekarang menjadi rasa takut, aku ingat
cerita pemilik kontrakan ini tentang mahluk halus berambut panjang yang
menghuni kontrakan tempat aku, Elphina, Diana dan tujuh orang lainnya tinggal.
# # #
“Kopinya enak, ya?”
“Enak, apalagi yang cappuccino, El”
aku menjawabnya tanpa menoleh ke sumber suara.
“Apa?”
“Ya,
kopinya emang enak apalagi yang cappuccino”
“Aduh,
Kei, kamu ngomong sama siapa sebenarnya?”
Aku
menghentikan tarian jemariku di atas keyboard laptop, dan menoleh ke arah
Elphina yang menghampiriku.
“Lah, bukannya kamu tadi nanya
tentang kopi yang aku minum ini” aku menunjuk mug cantik bergambar sebuah novel
karya aku dan Dwi serta gambar kami yang berdiri manis sambil tersenyum.
“Hmm”
Elphina menggelengkan kepala, raut
mukanya keheranan dan sedikit kekhawatiran.
“Oia, cerpenku sudah mau selesai,
nanti dibaca, ya?!”
Kini Elphina menganggukkan
kepalanya, lalu berdiri dan hendak meninggalkanku di kamar bercat ungu muda
ini.
“Mau
kemana, El?”
“Wudhu,
mau shalat”
Aku
mengalihkan pandanganku ke arah jam analog di laptopku, jam 21.25. Aku belum
shalat Isya.
“Kamu
sudah shalat Isya?”
Aku
menggeleng “nanti saja, tanggung, sebentar lagi selesai”
Aku
kembali ke hadapan mesin uangku dan jemariku kembali menari di atas
keyboardnya, suara ketikannya nyaring, tapi terdengar samar di telingaku karena
earphone yang kupasang di telingaku sedang melantunkan lagu rocks, kencang.
Aku
menyeruput cappuccinoku yang tinggal setengah dari mug cantik, sensasinya
kembali menjalar ke badanku, pandanganku mulai sedikit kabur, kepalaku terasa
sedikit pening dan jantungku kembali berpacu lebih cepat dari sebelumnya,
luapan ide-ideku kembali ingin dimuntahkan, aku terus mengetik, menyajikan
tarian indah.
Kopi,
minuman favoritku selain teh yang kutemui di beberapa restorant Jepang di
daerahku. Moccaccino, espresso, cappuccino dan coffee latte adalah daftar kopi
yang sering aku pesan jika berkunjung ke Café Orange di food hall plaza. Cappuccino, ia teman terbaik, dengannya aku
dapat merangkai kata-kata, seperti dua tahun lalu ketika aku masih duduk di
bangku kelas sastra di SMA-ku. Espresso, walau pahit harus tetap kunikmati,
karena dari sana aku dapat megerti hidup ini memang banyak pahitnya. Moccaccino
dan coffee latte, ah yang ini sangat memuakkan coffee latte yang terlalu manis
bagiku membuatku tak ingin mempercayai lagi sosok laki-laki yang pernah
memberiku buket bunga mawar merah dan boneka beruang besar setahun lalu, tapi
aku tak boleh membenci coffee latte dan moccaccinonya, terlalu kejam.
Tik
… tik … tik … suara jarum jam dinding di luar kamarku, tepatnya di ruang
televisi mengisi malam yang sepi, dan jam analogku menampilkan angka 23.30.
Kopi cappuccinoku telah habis. Aku bergegas ke dapur membawa mug kosongku.
“Mau
nyeduh kopi lagi?”
“Ya,
naskahku belum selesai, takut ketiduran” aku menjawab suara dari kamar kami,
aku dan Elphina.
“Kenapa
kamu bangun jam segini? Belum ngerjain tugas, ya?”
Lima
detik, tak ada jawaban dari kamar, ah,
pasti Elphina hanya terbangun sebentar.
Aku
jadi teringat, aku belum shalat Isya. Ah,
tapi nanti saja, kan masih ada waktu.
“Kopinya
enak, ya?”
“Enak,
El”
Aku
menoleh ke belakang, mencari sosok Elphina yang baru saja berdiri di ambang
pintu dapur yang lampunya redup.
“El?”
Bayangan
itu lagi, bukan Elphina atau Diana, postur tubuh mereka tak setinggi itu, dan
rambutnya tak sepanjang bayangan itu.
“Oh,
kenapa kamu belum tidur?”
Suara
tawa nyaring menyambut pertanyaanku yang mencoba menghalau rasa takut. Suara
sendok dan mug berbunyi nyaring, di luar tak ada suara jatuhnya air hujan, yang
ada hanya suara langkah-langkah kaki petugas ronda menyatu dengan irama mug dan
sendok serta detakan jantungku yang berpacu cepat.
Bersambung ke Part 2 .... ^ ^