Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
“Dhean sudah mati!”
Laki-laki itu terbelalak kaget,
seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut perempuan itu.
“Kamu jangan bercanda!”
Tubuh lelaki itu bergetar, untung saja badannya
kekar, badan seorang karateka, tangannya mencoba meraih tangan perempuan itu.
“Sudah kubilang, Dhean sudah tak ada”, si perempuan
dengan lembut menghindari tangan si lelaki, ingin sekali perempuan itu
membentak si lelaki, namun ditahannya. Pikirannya campur aduk begitu saja
karena lelaki itu, dadanya bergemuruh menahan perasaan yang bercampur aduk
juga.
Angin berhembus menerpa jilbab panjang si perempuan
juga mengacau rambut gondrong si lelaki. Mereka berdua berdiri di samping jalan
raya, berpapasan begitu saja tanpa rencana, setelah satu semester berlalu tanpa
pernah bertemu.
Tatapan lelaki itu mengabur, ia ingin menangis namun
malu menggelayut dalam dirinya. Si perempuan tertunduk, hidungnya berubah
sedikit memerah, ia juga ingin menangis namun ia harus tegar.
“Kemana saja dalam satu semester ini? Kau ada di
mana?”
Lirih si perempuan sambil memperhatikan lalu lalang
pejalan kaki yang menyebrang saat lampu lalu lintas menunjukkan merah.
Langkah-langkah kaki mereka cepat seperti hendak berburu sesuatu, pagi hari
memang selalu begitu.
“Bagaimana Dhean bisa meninggal?” lelaki itu menahan
nafas, menahan emosi yang bergemuruh dalam dadanya, ia ingin meminta maaf
karena telah meninggalkan Dhean.
# # #
Dhean memiliki kebiasaan mencari iklan dari
produk-produk kecantikan setelah seorang temannya yang juga perempuan meledek
dirinya yang berwajah hitam dan kadang berminyak, rambutnya yang tak begitu
indah tentu saja menjadi nilai minus bagi wajahnya yang tak terawat.