|
Picture By: Google |
Oleh
: Nadia Rahmatul Ummah
“Selamat
sore!”
Angin
menyapa saat aku melewati belakang rumah yang penuh ilalang, hembusannya hampir memabukkanku seperti
mabuknya ilalang yang disapa angin, bergoyang membentuk gelombang indah yang
berirama.
“Bodoh,
kenapa harus lewat belakang?” Tanya para ilalang mengejek, helai-helainya masih
bergoyang mengikuti hembusan angin.
“Terserah
aku, yang punya kaki kan aku sendiri, ini rumah juga rumah sendiri” aku
menimpali perkataan ilalang.
“Jangan
mengganggu si lelaki kita ini” sahut angin, membelaku.
“Ah,
ya sudahlah jika itu maumu, aku hanya berpikir tak ada gunanya pintu depan
dipasang jika tiap pulang manusia ini lewat belakang,” ilalang kembali
berceloteh.
“Hmm”
aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, aku capek, ingin sekali berbaring
memanjakan diri di kasur atau sofa sambil menonton drama di televisi atau
sambil membaca buku, ah, tapi sore ini aku akan memanjakan diriku dengan mendengarkan
musik di balkon.
#
# #
“Aku merindukan rembulan hadir di
sini,” langit malam berbicara padaku, wajahnya tak sedang ceria, kecuali jika
rembulan ada.
“Aku juga merindukannya,” sehelai
daun anthorium menanggapi, anthorium yang selalu setia menemaniku menunggu
rembulan di balkon rumah besar ini.
“Akulah yang sangat merindukannya,”
aku menatap sendu wajah langit malam tanpa berteman rembulan.
“Alasanmu merindukannya?” Tanya
langit malam penuh selidik.
“Karena aku mencintainya.” Jawabku.
“Kenapa mencintainya?” langit malam
kembali bertanya.
“Karena ia selalu menemaniku minum
kopi disini, aku tak punya siapa-siapa selain rembulan,” aku tersenyum sambil
membayangkan rembulan menerpa wajahku dengan cahaya lembutnya dengan mesra, itu
yang selalu ia lakukan jika kami sedang bercengkarama, seperti sepasang kekasih.
“Hanya karena itu?” langit malam
bertanya lagi, penuh selidik, lagi.
“Hmm... masih ada lagi, bukan hanya
itu” sahutku.
“Hei, tunggu, katamu kau tak punya
siapa-siapa, terus aku ini kau anggap apa? Orang-orang di rumah ini kau anggap
apa?” anthorium sedikit kesal, aku mengetahuinya dari nada bicaranya meskipun
aku tak bisa melihat komat-kamit mulutnya yang sedang berbicara.
“Kau temanku juga,” jawabku pendek,
sebenarnya aku ingin tertawa mendengar pertanyaan, anthorium yang kurawat
hingga ia bisa tumbuh bagus di dalam sebuah pot.
“Kau cemburu, ya?” langit malam
mengejek anthorium.
“Tidak!” sanggah anthorium.
“Ah, kau pasti cemburu,” lagi-lagi
langit malam mengejeknya.
“Tidak!”
Aku hanya tertawa mendengar mereka
bertengkar, mempermasalahkan cemburu. Cemburu? Aku juga pernah merasakannya.
Sekitar tujuh tahun lalu, saat itu usiaku tepat 20 tahun.
“Hei, lelaki! Bukankah tadi kau
bilang bukan hanya itu alasannya, ada alasan lain kau mencintai rembulan, apa
itu?” langit malam kembali ke perbincangan utama setelah puas mengejek
anthoriumku.
“Karena kau tiba hanya di waktu
seperti ini, kau memang tidak pernah tahu alasannya aku mencintai rembulan”
“Aku tak mengerti” sahut langit
malam.. Anthorium hanya terdiam, ia sedikitnya tahu alasanku mencintai
rembulan.
“Kau tanyakan saja pada langit
siang,”
“Mustahil”
“Sudahlah, sebentar lagi dini hari,
kau akan segera dipanggil pulang, kan?!” aku mengingatkan langit malam.
Jarum jam di ruang kamarku
menunjukan pukul duabelas malam, aku bisa melihatnya dari balkon yang langsung
terhubung dengan kamarku.
Aku melangkah menuju kamar, membawa
cangkir yang sebelumnya terisi penuh oleh moccacino.
“Selamat beristirahat, lelaki!” ucap
anthorium dan langit malam bersamaan.
#
# #
“Mari kita nikmati kebersamaan ini
sebelum kita tak mampu melihat satu sama lain,” aku menengadahkan tangan ke
langit, disana rembulan mengelus wajahku dengan cahayanya. Suasana balkon rumah
besar ini tampak begitu mesra.
“Jangan menakuti dia, rembulan
terlalu rapuh untuh mendengar hal itu,” anthorium tiba-tiba menimpali
perkataanku untuk rembulan.