Sabtu, Januari 31, 2015

MANUSIA-MANUSIA PUKUL SEBELAS MALAM


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
Teng …!
Denting jam salendro terdengar nyaring, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Suaranya berpadu dengan irama air keran di kamar mandi, sudah menjadi kebiasaan, salah seorang penghuni mandi pada pukul setengah sebelas malam.
Tak jauh dari kamar mandi, di sebuah kamar tidur berisik suara radio yang diputar, tampak seorang gadis dengan rambut ikalnya yang tergerai sedang menantang monitor di depannya, jemarinya aktif menyentuh tuts keyboard. Matanya dibantu dengan sepasang kacamata minus.
“Aissh, hampir saja aku lupa” ia mengumpat dengan berbisik, mungkin ia salah ngetik atau lupa dengan ide  yang sedang ia kerjakan.
Tangannya kini meraih secangkir kopi yang sudah tak lagi mengepulkan asap panasnya, menyeruputnya tanpa memalingkan perhatian dari layar monitor. Kamar yang sedikit temaram membuat suasana kamar terasa dingin, ukuran kamar yang cukup luas buat satu orang. Ya, rumah itu luas, memiliki ruang santai, dapur, dua kamar mandi, dan tiga kamar tidur dengan penghuni tiga orang gadis.
Di antara mereka ada seorang gadis yang selalu penasaran dengan pukul sebelas malam, ia ingin sekali mengetahui kebenaran tentang pukul sebelas malam, maka setiap setengah jam sebelum pukul jam salendro membunyikan tanda pukul sebelas malam ia berusaha berpikir keras agar ia bisa memecahkan rasa penasarannya. Hampir setiap hari.
Malam itu si gadis yang penasaran dengan pukul sebelas malam mondar-mandir di ruang keluarga.
“Dis, lu kenapa mondar-mandir kayak gitu?”
Seorang gadis lainnya yang baru saja keluar dari kamar mandi keheranan melihat temannya mondar-mandir seperti sedang menunggu sesuatu dan sedang berfikir keras.
“Hmm?”
Si gadis yang merasa ditanya menanggapinya dengan gumaman kecil.
“Gak kenapa-kenapa kok Mel, aku lagi mikirin tugas aja”
Si gadis berbohong.
# # #
Namanya Gladis, si gadis yang penasaran dengan pukul sebelas malam. Selain Gladis, di rumah kontrakan itu tinggal dua orang gadis lainnya, Meli si tukang mandi di malam hari, dan Desi si tukang begadang berkacamata.
Ya, pukul sebelas malam, selalu sukses membuat gadis itu penasaran, sukses membuat gadis itu tak kunjung tidur karena memikirkan cara keluar rumah, ia selalu berpikir keras bagaimana caranya ia dapat melewati petugas keamanan di gerbang rumah kontrakan besar mereka, petugas keamanan yang sengaja disewa oleh pemilik rumah agar aman.
# # #
            “Sudah ibu bilang gak baik anak gadis keluar pukul sebelas malam”
            Pemilik rumah kontrakan itu menegaskan kembali setiap si gadis meminta izin untuk keluar pukul sebelas malam dengan alasan menherjakan tugas di kosan teman. Rupanya si wanita paruh baya pemilik kontrakan itu sudah mencium gelagat tidak beres pada si Gladis, pasalnya ini permintaan kesekian dengan alasan bermacam-macam.
            “Bu, kali ini saja, tugasnya harus dikumpulkan besok”
            Gladis memasang wajah memelas. Ia memanfaatkan suasana sore yang tenang untuk berbincang dengan pemilik rumah sekaligus meminta izin untuk keluar rumah pada pukul sebelas malam.
            “Hmm”
            Si pemilik kontrakan hanya bergumam.
            “Ya, sudah, kali ini saja ibu izinkan kamu keluar lebih dari pukul sebelas malam”
            Senyum Gladis tersungging, ia sudah berniat keluar rumah pukul setengah sebelas malam, berkeliling untuk mengobati rasa penasarannya. Ia akan mengajak Desi dan Meli untuk menunjukkan betapa menyenangkannya  di luar rumah sekitar pukul setengah sebelas malam lebih.
# # #
            “Selamat datang”
            Suara lembut pelayan restoran bergigi kelinci itu menyambut Gladis, Meli, dan Desi. Malam itu juga pukul sebelas malam mereka mengunjungi café yang sudah lama ingin mereka kunjungi di malam hari.

            Di sudut café tampak gadis-gadis yang usianya masih cocok duduk di bangku SMA tapi penampilannya cocok menjadi usia dewasa, mereka sedang bercanda, sesekali mengumpat tak karuan, kadang tertawa terbahak.
            Malam itu mereka juga menikmati hal yang sama di cafe, hal yang diangankan oleh mereka menjadi kenyataan kali itu.
# # #
            Malam kesekian mereka keluar rumah pada pukul sebelas malam, hal yang mereka awali menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Selain ke tempat yang biasa mereka mencoba mengunjungi tempat –tempat lain yang belum mereka temui.
            “Kya…!” Mereka bertiga berteriak tertahan saat memasuki café.
Suasana café yang sering mereka kunjungi sebagai tempat bergosip, bercanda dan menghabiskan uang mereka hanya untuk kesenangan tak lagi sama seperti café yang mereka kunjungi.
Sekarang bukan lagi manusia di sekeliling mereka, sekelompok monster tampak sedang berpesta dengan cangkir-cangkir, mata mereka memerah, mulutnya menyeringai, tumpukkan daging serupa daging mayat manusia berceceran dimana-mana, seperti telah dimakan oleh para monster itu.
Gladis, Meli dan Desi berusaha lari sekencang mungkin untuk menghindari seringai para monster yang baru saja keluar dari club malam, ia berniat masuk ke lingkungan mall yang lebih ramai. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, ya, lagi-lagi pukul sebelas malam.
Aksi penyelematan diri mereka tak membuahkan hasil yang melegakan sedikit pun, dengan nafas yang terengah-engah mereka menyusuri gang yang tak begitu sempit menuju rumah kontrakan mereka.
            Suara derap langkah mereka yang berlari kencang tak kalah liarnya dengan suara teriakan dan tawa para monster, di hadapan mereka sudah tampak rumah kontrakan mereka dengan gerbangnya yang tak terlihat menyenangkan, tapi kali ini berbeda di pandangan Desi, Meli dan Gladis, mereka tampak senang ketika melihat gerbang besi yang tinggi itu, dengan rasa gembira mereka memburu gerbang rumah itu. Tapi senyuman gembira mereka seketika pudar melihat si petugas keamanan mengacungkan pentungan dengan raut muka yang menyeramkan seolah ingin mengusir mereka bertiga yang memburu gerbang.
            “Huss!”
            “Kenapa mengusir kami, pak?”
            Meli berseru keheranan pada petugas keamanan, petugas keamanan yang hendak memukulkan pentungan ke arah mereka bertiga tidak mengindahkan perkataan mereka karena yang dia dengar hanya suara raungan yang tak jelas dan tak mungkin dimengerti oleh petugas keamanan yang seorang manusia.
            “Pak, ini kami yang menghuni kontrakan ini” Desi juga ikutan bersuara.
            “Huss!”
            “Huss!”
            Petugas keamanan kini memukulkan pentungannya ke arah Meli, dan Bugg! Meli jatuh tersungkur, ia bisa berdiri kembali.
            “Pergi kau monster-monster!”
            Petugas keamanan meneriaki mereka. Desi, Meli dan Gladis keheranan sambil ketakutan.
            “Monster?”
Gladis bertanya heran ke kedua orang temannya, ia menatap heran ke arah Meli, Meli yang sedang meringis karena kesakitan menampakkan giginya, ada yang berbeda dari gigi-giginya yang berderet rapi, diantara barisan giginya mulai menyembul taring kecil yang runcing. Gladis pun mengarahakan pandangannya ke arah  Desi, sama halnya dengan Meli, Desi sudah bertaring runcing, matanya kemerahan, kuku-kukunya berubah meamanjang dengan bulu-bulu lebat berwarna coklat di setiap permukaan kulitnya, mereka akhirnya sama seperti para pengunjung café yang berubah menjadi monster.[]
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar