Rabu, April 30, 2014

KITA DAN KEMBALI

Rabu. 30 April 2014
Irama Kereta yang Kembali
Lagi-lagi, dalam sebuah perjalanan kita akan kembali.
Setelah melewati waktu-waktu yang sangat berbeda, berbeda dari sebelum kita pergi. Kita akan kembali, kembali pada kebiasaan.
Kita yang kembali.
Kita yang lagi-lagi akan melewati hari yang sama,
Kita yang mungkin akan kembali pada kebiasaan.
Kita dan kembali.
Semoga bukan sekadar kembali.

Foto by: Multazam Zakariyya

Minggu, April 27, 2014

KITA DAN HITAM

27 April 2014
Irama Kereta Kutoarjo

Alunan kali ini berbeda, sangat berbeda dengan alunan deru kereta menuju Malabar beberapa bulan yang lalu.

Begitu juga dengan pencarian hitam kita, tak jauh dari waktu itu--waktu menikmati irama kereta Malabar-- hitam telah kita temukan.
Sekarang,
Hitam kembali pulang, tak ada yang disisakan olehnya.
Aku, kamu dan hitam, semakin berbeda.

Senin, April 21, 2014

LELAKI YANG MENCINTAI REMBULAN


Picture By: Google


Oleh : Nadia Rahmatul Ummah
“Selamat sore!”
Angin menyapa saat aku melewati belakang rumah yang penuh ilalang,  hembusannya hampir memabukkanku seperti mabuknya ilalang yang disapa angin, bergoyang membentuk gelombang indah yang berirama.
“Bodoh, kenapa harus lewat belakang?” Tanya para ilalang mengejek, helai-helainya masih bergoyang mengikuti hembusan angin.
“Terserah aku, yang punya kaki kan aku sendiri, ini rumah juga rumah sendiri” aku menimpali perkataan ilalang.
“Jangan mengganggu si lelaki kita ini” sahut angin, membelaku.
“Ah, ya sudahlah jika itu maumu, aku hanya berpikir tak ada gunanya pintu depan dipasang jika tiap pulang manusia ini lewat belakang,” ilalang kembali berceloteh.
“Hmm” aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, aku capek, ingin sekali berbaring memanjakan diri di kasur atau sofa sambil menonton drama di televisi atau sambil membaca buku, ah, tapi sore ini aku akan memanjakan diriku dengan mendengarkan musik di balkon.
# # #
            “Aku merindukan rembulan hadir di sini,” langit malam berbicara padaku, wajahnya tak sedang ceria, kecuali jika rembulan ada.
            “Aku juga merindukannya,” sehelai daun anthorium menanggapi, anthorium yang selalu setia menemaniku menunggu rembulan di balkon rumah besar ini.
            “Akulah yang sangat merindukannya,” aku menatap sendu wajah langit malam tanpa berteman rembulan.
            “Alasanmu merindukannya?” Tanya langit malam penuh selidik.
            “Karena aku mencintainya.” Jawabku.
            “Kenapa mencintainya?” langit malam kembali bertanya.
            “Karena ia selalu menemaniku minum kopi disini, aku tak punya siapa-siapa selain rembulan,” aku tersenyum sambil membayangkan rembulan menerpa wajahku dengan cahaya lembutnya dengan mesra, itu yang selalu ia lakukan jika kami sedang bercengkarama, seperti sepasang kekasih.
            “Hanya karena itu?” langit malam bertanya lagi, penuh selidik, lagi.
            “Hmm... masih ada lagi, bukan hanya itu” sahutku.
            “Hei, tunggu, katamu kau tak punya siapa-siapa, terus aku ini kau anggap apa? Orang-orang di rumah ini kau anggap apa?” anthorium sedikit kesal, aku mengetahuinya dari nada bicaranya meskipun aku tak bisa melihat komat-kamit mulutnya yang sedang berbicara.
            “Kau temanku juga,” jawabku pendek, sebenarnya aku ingin tertawa mendengar pertanyaan, anthorium yang kurawat hingga ia bisa tumbuh bagus di dalam sebuah pot.
            “Kau cemburu, ya?” langit malam mengejek anthorium.
            “Tidak!” sanggah anthorium.
            “Ah, kau pasti cemburu,” lagi-lagi langit malam mengejeknya.
            “Tidak!”
            Aku hanya tertawa mendengar mereka bertengkar, mempermasalahkan cemburu. Cemburu? Aku juga pernah merasakannya. Sekitar tujuh tahun lalu, saat itu usiaku tepat 20 tahun.
            “Hei, lelaki! Bukankah tadi kau bilang bukan hanya itu alasannya, ada alasan lain kau mencintai rembulan, apa itu?” langit malam kembali ke perbincangan utama setelah puas mengejek anthoriumku.
            “Karena kau tiba hanya di waktu seperti ini, kau memang tidak pernah tahu alasannya aku mencintai rembulan”
            “Aku tak mengerti” sahut langit malam.. Anthorium hanya terdiam, ia sedikitnya tahu alasanku mencintai rembulan.
            “Kau tanyakan saja pada langit siang,”
            “Mustahil”
            “Sudahlah, sebentar lagi dini hari, kau akan segera dipanggil pulang, kan?!” aku mengingatkan langit malam.
            Jarum jam di ruang kamarku menunjukan pukul duabelas malam, aku bisa melihatnya dari balkon yang langsung terhubung dengan kamarku.
            Aku melangkah menuju kamar, membawa cangkir yang sebelumnya terisi penuh oleh moccacino.
            “Selamat beristirahat, lelaki!” ucap anthorium dan langit malam bersamaan.
# # #
            “Mari kita nikmati kebersamaan ini sebelum kita tak mampu melihat satu sama lain,” aku menengadahkan tangan ke langit, disana rembulan mengelus wajahku dengan cahayanya. Suasana balkon rumah besar ini tampak begitu mesra.
            “Jangan menakuti dia, rembulan terlalu rapuh untuh mendengar hal itu,” anthorium tiba-tiba menimpali perkataanku untuk rembulan.