Kamis, Januari 16, 2014

KITA MASIH HIDUP MESKI DALAM IMAJI



16 November
Aku ingin ungkap luka dalam bait puisi.

17 November
Silakan hadir dan pergi semaumu, aku sudah tak peduli dengan kata 'baik-baik saja' saat kau pergi... 
Kata orang harusnya aku membencimu, namun entah kenapa aku tak sanggup membencimu ..
Kata maaf tak cukup mengobati segalanya...
Kau kira segalanya akan baik saja?.. Kau keliru, tuan!

18 November
Rasanya aku ingin membunuhmu...
Selamat menikmati rasa bersalahmu, kata maaf saja tak cukup, tuan!
Kemarin aku tak sempat membunuhmu, tuan! pedangku tertinggal di rumah, hari ini semoga bisa membunuhmu.

19 November
Selamat Pagi, tuan! Selamat menikmati rasa bersalahmu!

20 November
Sprtinya kita butuh tanda koma yang menandakan kisah kita belum berakhir ....
Masih tentang dongeng kita, kau bilang dongeng ini nenjadi lebih rumit, hmm, mungkinkah si penyihir telah ikut serta?.
Tuan, dengan rasa hormat kuserahkan kenangan itu kepadamu, semoga tak menjadi dongeng buruk menjelang tidur nanti ..
Dongeng kita sudah kedatangan penyihir, kita butuh peri untuk menyempurnakannya...

27 November
Dongeng menjelang tidur tadi malam masih tersisa pagi ini, kali ini dengan debu peri yang tercecer di lantai kamar...
Tuan, aku baru mengerti jika tanpa peri aku tak ubahnya seperti pelayan kerajaan...

28 November
Tuan, dongeng kita belum berakhir ...
Tuan, jika tanpa serbuk peri aku seperti bukan permaisurimu ..
Tuan, masih ingatkah tentang warna pelangi yang sering kau hafalkan? semoga tak lupa.
Tuan, tolong jangan kejam pada setiap hati yang mudah rapuh..
Tuan, sudikah kau berlutut meminta maaf?

29 November
Semoga ilustrasi mimpi kita sama tetap sama, tuan.
Tuan, apakah itu suatu kebijaksanaan ketika kau merebut hati lalu meninggalkannya atas nama sebuah kesalahan?
Tuan, kiranya kau bukan manusia, berlaku salah tanpa merasa salah.
Tuan, kau kira itu bukan sebuah kejahatan? Menyapa hati, memilikinya, lalu melemparnya tanpa ampun.
Sesore inikah kau belum kembali? kapan kau mau menepati janji mengambilkan pelangi, apa tuan sudah lupa warna pelangi yg kau hafalkan?
Tuan, silakan dinikmati, secangkir teh rasa duka, racikan tuan sendiri.
Cerdik sekali tuan, dikau mendekati, mengungkapkan cinta, lalu pergi, setelah itu kembali untuk mengakui bukan aku yang kau cintai.
Haruskah aku berterima kasih pada tuan? karena kecerdikanmu itu aku bermetamorfosa menjadi orang yang tak percaya mahluk sejenis tuan.
Tuan, mestinya kau tahu saat kau akui tentang dia aku ingin menikammu, karena itu yang kurasakan, seperti mati.
Maaf, bukan mengungkit dongeng lalu, tapi ada rangkaian dongeng yang belum kau selesaikan, tuan.
Kesalahan tetap saja kesalahan, tak ada keindahan di dalamnya, kecuali jika senyum dan keikhlasan mengganti posisinya, begitu tuan?.
Tuan, haruskah aku meminta pada Tuhan agar kau sadari kemarin adalah sebuah kesalah besar tuan?
Tuan, haruskah kuberikan serbuk peri untukmu? agar tak ada penyihir yang mengubahmu menjadi jahat.

30 November 
semoga selamat sampai tujuan, tuan...
Selamat istirahat, tuan! semoga lelah hari ini terobati.
Tuan, mari kita berkomunikasi saja lewat aroma kopi yang kuhirup dan aroma dari secangkir teh di hadapanmu..
Tuan, mari berbincang lewat aroma kopi & aroma scangkir teh, semoga jarak antara Sukabumi dan Depok ini tak membuat kita menyalahkan rasa.
Tuan, Desember telah tiba tinggal menghitung hari dan pekan usia dongeng kita genap setahun ..
Tuan, bolehkah aku menyelinap masuk dalam bunga tidurmu? aku takut kau pergi dari dongeng ini..

1 Desember
Selamat sore, tuan! Aku menanti dikau pulang di beranda rumah, semoga teh yang akan kusajikan nnti mmpu melerai lelah yg menggelayut..
Tuan, mari kita berbincang sejenak, melepas gundah yang disebabkan oleh ketidakpastian.
Selamat pagi, tuan! semoga tak kutemukan gurat gundah di wajahmu pagi ini.
Tuan, aku tak akan berhenti menulis dongeng kita sebelum kau sadar telah menghapus semua warna pelangi.
Tuan, sudikah kau melukiskan warna pelangi yang dahulu kau hafalkan?.
Maaf, tuan. semalam pesanmu tak sempat kubaca, aku telah pergi ke dalam ruang yang dahulu kita tempati ..
Tuan, budaya dan suku kita sama, mestinya kau mengerti bahasa yang kuucapkan padamu.
Tuan, sejenak saja kita mesti berbincang mengenai secangkir teh dengan racikan luka dan coklat dengan campuran kekecewaan.

2 Desember
Hujan tiba tanpa ampun membasahi bumi, seperti puisi tuan yang tanpa ampun menghujani benakku...
3 kata bertuankan kita, masih mengendap dalam ruang yang kemarin kita tempati. Semoga tak menjadi parasit untuk menggapai mimpi kita, tuan.

8 Desember
Kita berpijak pada sebuah rasa bersalah,mungkin. Sbenarnya ingin kusampaikan pada tuan tentang benci, kecewa dn amarah yg tersirat dr lakuku.
Terima kasih telah mengenalkanku pada sebuah nama bernama kebohongan, tak perlu bicara dgn suara, lewat sorot mata pun dpt dimengerti, smoga.

10 Desember
Tak berharap menjadi dia, aku tetap aku, aku akan selalu menjadi aku.
Entahlah, aku juga tak tahu apakah aku sudah memaafkanmu atau belum..
Kita terperangkap dalam lingkar imaji. Semoga realita tak mati...

14 Desember
Sudah berapa orang yang kau janjikan pelangi, tuan?.
Kita masih disandera imaji, smoga logika tak mati. Aku rindu persahabatan lalu, bkn persahabatan yg mnjadi kaku.
Semoga tak ada yg hilang dari persahabatan kita, tuan ..

16 Desember
Mungkin kita hrs mengubah definisi cinta. Oke, dan aku bisa mengubah definisinya menjadi tak indah sprti luka, kecewa, benci dn hal spt tu.
Terima kasih kita masih hidup meski dalam imaji...


                                                                                                                     Twitt Castle, 2013

Rabu, Januari 08, 2014

AKU INGIN MEMBUNUHNYA, BOLEHKAH?



Oleh: Nadia Rahmatul Ummah
Malam sebentar lagi merayap menghalau senja, puluhan burung gereja terbang rendah di atas atap rumah tetanggaku, mereka akan pulang, mungkin. Lelaki itu tegap berdiri memandangku, bola matanya yang coklat seolah menelusuri lorong bola mataku yang katanya hitam. Bibirnya yang mulai membiru bergerak seolah ingin berkata, tapi lima detik kutunggu tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Kamu kenapa?”
Tanyaku, aku melangkah mendekatinya dan memeluknya, aku ingin memeluknya sejak dia datang mengetuk pintu rumah.
“Re …”
Lirihnya, aku merasakan pelukannya, badannya dingin.
“Ayo ke dokter” ..
Air mataku menetes, samar kulihat Pusi si kucing anggora milikku menatap kami sendu. Malam beberapa detik lagi merayap menghalau senja,  masih di teras rumahku.
“Re, aku tak mau ke dokter”
Lirihnya lagi.
“Aku tak mau kamu sakit, Di”
Pelukanku semakin erat.
“Aku akan mati, Re”
Ujarnya, jantungku serasa berhenti begitu saja, awan yang dibawa malam pada senja seolah berhenti merayap untuk menyelimuti langit, angin senja perlahan meniup rambut panjangku, Pusi memejamkan mata menikmati hembusannya atau mungkin tak sanggup mendengar perkataan lelaki yang aku peluk.
“Tenang saja, Re, aku tak akan meninggalkanmu, meski aku telah mati kita bisa tetap bersama-sama”
“Bagaimana bisa?”
Perlahan aku melepas pelukanku, wajah pucatnya sekarang lebih baik karena senyumnya mengembang.
“Bisa, jika aku tak diajak ke dokter”
Lagi-lagi, Aldi –nama lengkapnya-- tak mau diajak ke dokter.
“Baiklah”
Aku membimbingnya masuk ke rumah, duduk di sofa.
“Jangan menangis lagi, Re”
Ah. Lagi-lagi dia melihat bulir air mataku yang jatuh.
“Aku ingin membunuhnya, bolehkah?”
Bisikku di telinganya.